Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin (Appi), Bupati Barru Andi Ina Kartika Sari, serta mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (IAS), (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Peta persaingan jelang Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar Sulawesi Selatan mulai menemukan bentuk yang lebih jelas.
Mundurnya petahana Taufan Pawe dari bursa calon Ketua DPD I Golkar Sulsel dinilai menjadi titik krusial yang mengubah arah kontestasi sekaligus membuka ruang kompromi di internal partai.
Dengan keputusan Taufan Pawe untuk tidak kembali maju, sejumlah nama yang sempat mencuat perlahan tersisih. Saat ini, hanya tiga figur yang dinilai masih memiliki peluang kuat untuk berebut kursi ketua Golkar Sulsel. Ketiganya adalah Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin (Appi), Bupati Barru Andi Ina Kartika Sari, serta mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin (IAS).
Sebelumnya, nama Taufan Pawe sebagai petahana masih menjadi poros utama. Namun, anggota DPR RI tersebut memilih menepi dengan alasan ingin fokus menjalankan tugas sebagai wakil rakyat di Senayan. Sementara itu, Adnan Ichsan YL yang sempat disebut-sebut sebagai kandidat, belakangan tidak menunjukkan langkah politik yang mengarah pada pencalonan.
Pengamat Politik Universitas Hasanuddin, Ali Armunanto, menilai keputusan Taufan Pawe tidak bisa dibaca secara sederhana. Menurutnya, alasan fokus di DPR RI memang terdengar rasional dan mudah diterima publik, namun ada dinamika politik lain yang lebih menentukan di balik keputusan tersebut.
“Saya melihat sebelumnya ambisi Pak Taufan Pawe untuk maju masih cukup besar. Karena itu, mundurnya beliau tentu tidak lepas dari faktor-faktor politik yang lebih dalam,” ujar Ali, Sabtu (27/12).
Ali menyebut, salah satu faktor paling krusial adalah soal restu Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Dalam tradisi politik Golkar, restu dari DPP menjadi penentu utama dalam kontestasi Musda di daerah.
“Bisa diduga, tidak adanya restu dari DPP menjadi alasan kuat. Ini semacam bargaining politik agar Pak Taufan Pawe tidak maju, sekaligus membuka ruang bagi kandidat lain untuk bertarung secara lebih seimbang,” jelasnya.
Menurut Ali, meskipun tidak lagi maju sebagai calon, Taufan Pawe tetap memiliki kekuatan politik yang signifikan. Basis dukungan yang telah ia bangun selama menjabat sebagai Ketua DPD I Golkar Sulsel tidak serta-merta hilang dan tetap menjadi faktor penting dalam dinamika internal partai.
“Kalau beliau tetap maju, itu bisa mengacaukan peta kekuatan kandidat tertentu. Karena itu, mundur menjadi pilihan yang lebih rasional untuk menjaga keseimbangan internal. Di situ kemudian muncul praktik politik ‘dagang sapi’,” kata Ali.
Ia menjelaskan, dalam skema tersebut, meski tidak maju sebagai kandidat, Taufan Pawe tetap memiliki posisi tawar yang tinggi. Dukungan dan jaringan politiknya berpotensi menjadi komoditas penting yang diperebutkan oleh kandidat lain.
“Ada politik saling memberi. Pak Taufan Pawe tidak maju, tetapi kemudian ada kompensasi politik, baik dari DPP maupun dari kandidat yang berharap mendapat warisan dukungan beliau,” paparnya.
Terkait arah dukungan Taufan Pawe, Ali menilai hal tersebut sangat bergantung pada kandidat yang memiliki pengaruh paling kuat di tingkat pusat. Meski tidak menyebutkan secara eksplisit, ia menegaskan bahwa ketiga kandidat yang tersisa sama-sama memiliki peluang, dengan variabel utama tetap berada di tangan DPP.
Dalam konteks itu, Munafri Arifuddin dinilai memiliki keuntungan tersendiri. Selain disebut-sebut mengantongi dukungan signifikan dari sejumlah DPD II kabupaten/kota, kehadiran Muhyiddin sebagai Pelaksana Tugas (Plt) di struktur Golkar Sulsel dan sambutan langsung dari Appi dinilai sebagai sinyal politik yang patut diperhitungkan.
“Kehadiran Pak Muhyiddin sebagai Plt bisa menjadi indikasi dan berpotensi memberi keuntungan elektoral bagi AP dalam pemilihan Ketua Golkar Sulsel,” ujar Ali.
Di sisi lain, IAS dan Andi Ina Kartika Sari juga dinilai masih memiliki kans yang terbuka. Keduanya disebut memiliki kedekatan dengan politisi senior Golkar, seperti Nurdin Halid dan Idrus Marham, yang selama ini dikenal berpengaruh dalam dinamika internal partai.
Ali juga menyinggung peran elite Golkar nasional seperti Jusuf Kalla dan Erwin Aksa. Menurutnya, meski pengaruh mereka masih signifikan di tingkat pusat, kekuatan tersebut tidak selalu menjadi faktor dominan dalam menentukan arah dukungan di daerah.
“Relasi itu ada, tapi saya melihat pengaruhnya tidak sekuat elite-elite pendukung kandidat tertentu di Golkar,” tuturnya.

















































