Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, kembali mencuat dan menuai beragam tanggapan dari publik serta kalangan politik.
Salah satu yang merespons adalah Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS, Ansory Siregar, yang menilai bahwa sosok Soeharto memang memiliki jasa besar bagi bangsa, namun proses penetapan gelar pahlawan harus dilakukan secara objektif dan berimbang.
Ansory mengatakan, pemberian gelar Pahlawan Nasional merupakan bentuk penghormatan tertinggi negara kepada individu yang telah memberikan jasa besar dalam perjuangan dan pembangunan bangsa. Namun, ia menegaskan bahwa penilaian terhadap tokoh yang diusulkan tidak boleh didasari pada persepsi politik atau emosi semata.
“Pemberian gelar pahlawan adalah bentuk penghormatan negara kepada individu yang telah memberikan jasa besar. Karena itu, prosesnya harus dilakukan secara objektif, berimbang, dan berdasarkan penilaian yang komprehensif, bukan sekadar melihat satu sisi dari perjalanan sejarah,” ujar Ansory dalam keterangannya, Rabu (5/11).
Politisi PKS ini menekankan pentingnya menempatkan sejarah secara proporsional, dengan melihat kontribusi dan kesalahan setiap tokoh dalam konteks zamannya.
“Tidak ada manusia yang sempurna. Setiap tokoh bangsa memiliki kelebihan dan kekurangan. Kita tidak boleh menutup mata terhadap catatan sejarah, tetapi juga tidak boleh menafikan jasa dan kontribusinya bagi bangsa,” jelasnya.
Menurut Ansory, Soeharto merupakan salah satu figur yang berperan besar dalam membangun fondasi ekonomi nasional dan menjaga stabilitas negara pada masa awal Orde Baru.
“Beliau dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami kemajuan signifikan dalam bidang infrastruktur, pertanian, dan pendidikan. Soeharto juga berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan yang memungkinkan pembangunan berjalan,” ujarnya.
Ansory menilai, berbagai kebijakan Soeharto, terutama dalam hal ketahanan pangan, swasembada beras, serta pembangunan desa, telah meninggalkan jejak kuat dalam sejarah pembangunan Indonesia.
“Di masa itu, Indonesia berhasil berdiri tegak secara ekonomi setelah periode panjang ketidakstabilan politik,” tambahnya.
Selain di bidang pembangunan, Ansory juga menyoroti peran Soeharto dalam menjaga keutuhan NKRI dari ancaman ideologi komunis pada pertengahan 1960-an. Menurutnya, langkah politik dan militer yang ditempuh kala itu berkontribusi terhadap penyelamatan ideologi negara.
“Langkah-langkah yang diambil Soeharto pada masa itu berperan penting dalam memastikan arah bangsa tetap pada jalur Pancasila dan menjaga keutuhan NKRI,” tutur Ansory.
Lebih jauh, Ansory mengingatkan publik untuk tidak melupakan kiprah internasional Soeharto yang mencerminkan kepedulian terhadap isu kemanusiaan dan dunia Islam. Salah satu yang paling diingat adalah kunjungan bersejarah Soeharto ke Bosnia-Herzegovina tahun 1995, di tengah berkecamuknya perang etnis di kawasan Balkan.
“Kunjungan itu sangat berisiko, tetapi menunjukkan empati dan solidaritas Indonesia terhadap rakyat Bosnia yang menderita akibat perang. Dari momentum itu pula lahir inisiatif pembangunan Masjid Istiqlal di Sarajevo, simbol persahabatan dan dukungan Indonesia terhadap perdamaian dunia,” ungkapnya.
Ansory menilai langkah tersebut memperlihatkan sisi humanis dan keberanian Soeharto dalam membawa nama baik Indonesia di kancah internasional, terutama di kalangan negara-negara Islam.
“Ia membawa nama Indonesia sebagai bangsa yang peduli terhadap perdamaian dan solidaritas antarumat,” kata dia.
Kendati mengakui banyak jasa Soeharto, Ansory tetap menegaskan bahwa proses pemberian gelar Pahlawan Nasional harus mengandung kejujuran sejarah dan kebijaksanaan moral. Artinya, penilaian terhadap sosok Soeharto tidak boleh menafikan berbagai catatan kelam yang juga terjadi pada masa pemerintahannya.
“Kita perlu belajar menghargai jasa tanpa menutup mata terhadap catatan sejarah. Pahlawan adalah manusia, dan manusia punya perjalanan yang kompleks,” ujar Ansory.
Ia berharap, Kementerian Sosial dan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dapat bekerja secara transparan dan objektif, dengan melibatkan sejarawan, akademisi, dan tokoh masyarakat lintas generasi agar keputusan yang diambil mendapat legitimasi moral dan publik.
“Semoga keputusan yang diambil nanti mampu memperkuat semangat kebangsaan, mempererat persatuan, dan menjadi teladan bagi generasi penerus,” pungkasnya.


















































