Rapat Juknis RT/RW (Dok: Sinta KabarMakassar).KabarMakassar.com – Anggota Komisi A DPRD Makassar, Tri Sulkarnain, melontarkan kritik keras terhadap Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) terkait teknis pendataan pemilihan RT/RW yang dinilai tidak realistis dan jauh dari kondisi faktual di lapangan.
Kritik itu muncul menyusul pernyataan Kepala BPM Ansar terkait pendataan dapat diselesaikan dalam waktu 10 hari berdasarkan rata-rata jumlah Kepala Keluarga (KK) per RT, yakni 80–90 KK, sehingga dianggap logis dan dapat dilaksanakan tanpa kendala berarti.
“Bukan itu substansinya, bukan itu yang mau kita tahu,” tegasnya, dalam rapat junknis RTRW di ruang paripurna DPRD Kota Makassar, Selasa (25/11).
Tri menilai penjelasan tersebut hanya sebatas teori dan tidak mencerminkan situasi nyata yang dihadapi para petugas di lapangan.
Ia menyebut BPM terlalu normatif, hanya mengandalkan hitungan,’rata-rata per KK’, tanpa mempertimbangkan kesulitan teknis dan kebutuhan operasional.
“Substansinya bukan di angka, Pak Kabag. Kejadian di lapangan tidak seperti perhitungan di rundown,” tegas Tri dalam rapat.
Ia kemudian menguraikan pengalaman Pjs yang diturunkan melakukan pendataan tanpa dukungan anggaran memadai. Di banyak kelurahan, para petugas harus mengunjungi rumah warga berulang kali, namun tidak diberi fasilitas operasional seperti transportasi maupun biaya komunikasi.
“Tidak ada bensin, tidak ada uang rokok. Datangi rumah orang, tidak ada orangnya. Mau kembali lagi? Sulit itu. Bukan sesederhana hitung-hitungan 80 KK dibagi 10 hari,” ujarnya.
Menurut Tri, kondisi ini membuat beban lurah menjadi semakin berat. Lurah tidak bisa menekan Pjs agar bekerja maksimal jika mereka tidak dibekali anggaran pendukung. Ia menilai hal itu tidak hanya tidak adil, tetapi juga tidak mungkin menghasilkan data yang akurat.
“Kalau saya lurah, saya juga tidak bisa paksa. Masa saya suruh orang turun pendataan tapi tidak kasih bensin? Tidak masuk akal,” tambahnya.
Tri menegaskan bahwa perencanaan teknis pemilihan RT/RW harus mempertimbangkan kenyataan lapangan, bukan sekadar kalkulasi administratif. Tanpa dukungan anggaran operasional, kata dia, pendataan akan selalu berisiko tidak tuntas dan kualitasnya jauh dari standar. Ia meminta BPM untuk tidak menutup mata atas kondisi tersebut dan segera melakukan evaluasi menyeluruh.
“Dan begini kalau saya juga jadi Pjs RT/RW, kalau saya sudah pernah datang ke itu rumah dan kalau tidak ada, saya tidak bakal datang lagi, kan capek untuk apa juga datang kan saya tidak dibayar untuk kerja begitu,” jelas Tri.
Isu ini menambah daftar panjang polemik kesiapan pemilihan RT/RW di Makassar, terutama terkait pendataan, anggaran, dan koordinasi lintas perangkat daerah. Kritik dari DPRD menjadi alarm keras bahwa penyelenggaraan pemilihan berpotensi bermasalah jika tidak diperbaiki segera.


















































