
KabarMakassar.com — Pemerintah Kota Makassar melalui PD Pasar Makassar Raya mulai menata ulang kawasan Pasar Cidu yang kini lebih dikenal sebagai sentra kuliner malam hari.
Penataan ini menyasar 169 pedagang yang selama ini memenuhi ruas jalan di sekitar Pasar Cidu, khususnya di Jalan Tinumbu, dan kerap menyebabkan kemacetan parah setiap sore hingga malam hari.
Pelaksana Tugas Direktur PD Pasar Makassar Raya, Ali Gauli Arif, menjelaskan bahwa penataan dilakukan untuk menyeimbangkan potensi ekonomi yang besar di kawasan tersebut dengan kepentingan ketertiban umum.
“Per hari, perputaran uang di kawasan ini mencapai Rp80 juta hingga Rp90 juta, dengan jumlah transaksi sekitar 500-an. Ini potensi besar, tetapi tanpa penataan, akan terus menimbulkan masalah sosial dan lalu lintas,” ujarnya, Minggu (27/07).
Menurutnya, Pasar Cidu kini bukan hanya sekadar tempat belanja tradisional, melainkan telah berevolusi menjadi pasar kuliner favorit warga Makassar. Dari sore hingga malam hari, kawasan itu dipadati pengunjung yang mencari aneka makanan dan minuman.
Melihat situasi tersebut, PD Pasar memutuskan untuk menerapkan sistem ganjil-genap bagi pedagang. Nantinya, hanya satu jalur yang diizinkan untuk aktivitas berjualan, dan pedagang dibatasi berdasarkan nomor urut yang telah diberikan.
“Pedagang bernomor genap hanya bisa berjualan di tanggal genap, dan yang bernomor ganjil di tanggal ganjil. Tapi khusus malam Minggu dan malam Senin, semua pedagang boleh buka. Ini kami lakukan agar jalan tetap bisa diakses kendaraan dan aktivitas warga lainnya tidak terganggu,” terang Ali.
Sosialisasi kebijakan tersebut telah dilakukan kepada seluruh pedagang dan akan mulai diberlakukan pekan depan. PD Pasar juga akan melakukan pengawasan langsung untuk memastikan aturan dijalankan dengan baik.
Ali menegaskan, prinsip penataan ini tidak semata-mata membatasi ruang usaha, tetapi menciptakan tata kelola yang berkeadilan dan berkelanjutan, mengingat para pedagang menggunakan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
“Ini adalah upaya menyeimbangkan hak pedagang untuk mencari nafkah dengan hak publik atas ruang kota yang tertib. Kami ingin Pasar Cidu jadi kawasan kuliner yang nyaman, teratur, dan tetap produktif,” tutupnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi C DPRD Kota Makassar, Ray Suryadi, meminta agar penataan yang dilakukan tidak serta-merta mematikan potensi ekonomi warga yang telah tumbuh secara organik.
Menurut Ray, keberadaan pasar malam Cidu bukan sekadar aktivitas ekonomi informal, melainkan telah berkembang menjadi ikon kuliner yang menggerakkan roda ekonomi masyarakat di wilayah utara Makassar. Bahkan, tempat ini telah menarik perhatian wisatawan dari luar kota hingga mancanegara.
“Ini fenomena yang tumbuh dari bawah. Warga di sana punya kemampuan mengolah makanan yang enak dan terjangkau. Banyak pengunjung yang datang karena tertarik dengan cita rasa dan suasananya,” ujarnya, Senin (21/07).
Ray menyayangkan jika pemerintah hanya fokus pada aspek ketertiban tanpa melihat potensi besar yang bisa dioptimalkan. Ia menyebut contoh kawasan Pasar Alor di Bukit Bintang, Malaysia, yang justru diakui sebagai destinasi wisata karena mampu dikelola dengan baik meski awalnya juga hanya berupa jalur komersial biasa.
“Kawasan itu ditutup dari sore sampai dini hari. Pemerintah Malaysia sadar manfaat ekonominya lebih besar. Nah, kenapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama di Pasar Cidu?” ujar Ketua Fraksi Mulia.
Terkait wacana relokasi dan pembongkaran lapak di Pasar Cidu, Ray menekankan bahwa hanya bangunan permanen yang sebaiknya ditertibkan. Sementara itu, gerobak, meja lipat, dan fasilitas portable lainnya justru bisa ditata ulang dengan pendekatan humanis.
“Jangan asal bongkar. Selama itu tidak permanen, justru itu bisa diakomodir. Yang dibutuhkan sekarang adalah pengelolaan terpadu penerangan jalan, toilet portable, pengolahan sampah, dan zona parkir,” kata dia.
Ray juga mengusulkan agar lintas OPD seperti Dinas Perhubungan, Satpol PP, dan kecamatan setempat terlibat langsung dalam proses penataan ulang, termasuk dalam menentukan jam operasional agar tetap ramah bagi pengguna jalan dan pedagang.
Ray tidak menutup mata terhadap maraknya pungutan liar (pungli) dan premanisme di area tersebut. Namun ia menegaskan, akar persoalan tersebut muncul karena lambatnya respons pemerintah dalam mengambil alih pengelolaan pasar malam tersebut.
“Pungli itu tetap salah. Tapi jangan jadikan alasan untuk menutup aktivitas ekonomi masyarakat. Justru pemerintah harus hadir, menata, dan menghentikan ruang gerak preman,” tegasnya.