17 Kasus Kekerasan Jurnalis Terjadi di Indonesia Timur, Aparat Hingga Pejabat Terlibat

9 hours ago 6

KabarMakassar.com — Kekerasan terhadap jurnalis di kawasan Indonesia Timur masih menjadi persoalan serius sepanjang tahun 2025.

Hasil penelitian yang dilakukan aktivis dan peneliti media, Beche BT Mamma, bersama tim KabarMakassar, mencatat sedikitnya 17 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tersebar di sejumlah provinsi, dengan pelaku berasal dari unsur negara hingga non-negara.

Beche menjelaskan, pemetaan tersebut disusun berdasarkan laporan sepanjang 2025 yang kemudian dikonsultasikan dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan dipilah secara manual untuk wilayah Indonesia Timur.

“Dari hasil pemetaan kami, sepanjang 2025 terdapat 17 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia Timur. Ini bukan angka kecil, dan menunjukkan persoalan struktural yang belum selesai,” ujar Beche, saat menjelaskan hasil penelitiannya di Loka Karya agenda kerjasama KabarMakassar dengan BBC di Bikin-Bikin Creative Hub Kota Makassar, Rabu (17/12).

Berdasarkan sebaran wilayah, Sulawesi Utara menjadi daerah dengan kasus terbanyak, yakni 5 kasus. Disusul Maluku Utara dan Sulawesi Selatan masing-masing 3 kasus, Sulawesi Tengah 2 kasus, serta masing-masing 1 kasus di Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, dan Papua.

Di Maluku Utara, kekerasan menimpa jurnalis Zulfikram Suhardi dari Tribun Ternate dan Fitriyani Safar dari Halmahera Raya saat meliput aksi Indonesia Terlelap.

Selain itu, terdapat kasus pengeroyokan terhadap Zulfikram Suhardi dan kekerasan terhadap wartawan biro di Halmahera Timur yang diduga dilakukan oleh oknum aparatur sipil negara (ASN).

Sementara di Sulawesi Selatan, intimidasi dialami jurnalis Zulfikri dan Andre saat meliput demonstrasi di Bone pada Agustus 2025 yang diduga melibatkan aparat keamanan. Kasus lain pada periode yang sama juga menimpa jurnalis Husein Idris.

Di Sulawesi Tengah, penelitian mencatat dua peristiwa, yakni pemeriksaan lanjutan terhadap jurnalis Henlimangkali serta kasus ditemukannya seorang jurnalis asal Palu yang meninggal dunia di sebuah hotel. Adapun di Sulawesi Utara, lima kasus meliputi intimidasi dan dugaan pemukulan terhadap jurnalis Bitung Fernando, penghalangan peliputan dan intimidasi terhadap awak media saat klarifikasi kasus dugaan kekerasan oknum, hingga tekanan terhadap jurnalis terkait pemberitaan BBM ilegal.

Kasus lain terjadi di Bali, ketika jurnalis Detik Bali Febiola Dianira mengalami intimidasi oleh anggota kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa. Di NTT, jurnalis Felix Napola dari viralntt.com dilaporkan mengalami kekerasan oleh seorang kepala desa pada November 2025. Di Sulawesi Tenggara, kekerasan dilakukan oleh ajudan Gubernur Sultra terhadap jurnalis Metro. Sedangkan di Papua, terdapat satu kasus persekusi dan intimidasi terhadap empat jurnalis.

Beche memaparkan, bentuk kekerasan yang dialami jurnalis sangat beragam, mulai dari penganiayaan, pengeroyokan, intimidasi, pengancaman, pemaksaan, pembunuhan, pelecehan, pengambilan paksa alat kerja, serangan digital, pengusiran, kriminalisasi, hingga pelanggaran kebebasan liputan.

“Yang memprihatinkan, pelaku tidak hanya dari non-negara. Banyak kasus justru melibatkan aktor negara seperti aparat kepolisian, Satpol PP, pejabat daerah, kepala desa, hingga aparat penegak hukum,” ujarnya.

Dari sisi aktor, penelitian mencatat keterlibatan unsur negara seperti Polri, Satpol PP, pejabat daerah, kepala desa, Kasat Reskrim, dan aparat PSDKP. Sementara aktor non-negara meliputi massa sipil, kelompok tak dikenal, ASN, buzzer, elit lokal, oknum perumahan, istri kepala daerah, ketua organisasi lokal, hingga ajudan gubernur.

Secara demografis, dari 17 kasus tersebut, 15 korban merupakan jurnalis laki-laki dan 2 perempuan. Beche menilai angka ini mencerminkan kerentanan tinggi jurnalis di lapangan, terutama dalam peliputan isu-isu sensitif.

Penelitian ini juga mengidentifikasi tiga faktor utama penyebab kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia Timur, yakni politik dan hukum, ekonomi, serta faktor geografis dan eksternal. Pada sektor politik dan hukum, kekerasan kerap dipicu oleh polarisasi politik dan kepentingan elit.

“Khusus di Papua, jurnalis yang memberitakan pelanggaran HAM sering dicap anti-NKRI. Ini berujung pada intimidasi, persekusi, bahkan represi digital seperti pemutusan akses internet,” kata Beche.

Faktor lain yang menonjol adalah budaya impunitas. Banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis berlarut-larut tanpa penyelesaian hukum yang tegas.

“Prosesnya panjang, berliku, dan tidak memberikan efek jera. Ini memperkuat budaya impunitas dan membuat kekerasan terus berulang,” ujarnya.

Dari sisi hukum, Beche menilai meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, implementasinya masih lemah. Pasal-pasal karet dalam UU ITE maupun KUHP kerap digunakan untuk mengkriminalisasi karya jurnalistik.

“Tidak ada sanksi pidana khusus bagi pelaku kekerasan terhadap jurnalis. UU Pers hanya mengatur hak jawab, bukan perlindungan fisik jurnalis,” tegasnya.

Selain itu, tekanan ekonomi akibat disrupsi digital turut memperparah situasi. Ketergantungan media lokal pada iklan pemerintah dan elit lokal membuat posisi jurnalis semakin rentan terhadap tekanan.

“Sekitar 60 persen iklan digital dikuasai platform global. Media lokal di Indonesia Timur hanya mendapat porsi kecil, sehingga mudah ditekan secara ekonomi,” jelas Beche.

Ia juga menyoroti lemahnya kapasitas keamanan digital media lokal. Banyak redaksi di daerah belum memiliki tim IT atau sistem keamanan digital yang memadai untuk menghadapi serangan siber dan intimidasi daring.

Beche menegaskan, temuan ini harus menjadi alarm bagi negara untuk memperkuat perlindungan jurnalis, khususnya di kawasan Indonesia Timur.

“Tanpa perlindungan hukum yang tegas dan komitmen negara melawan impunitas, kekerasan terhadap jurnalis akan terus berulang dan kebebasan pers terancam,” pungkasnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news