KabarMakassar.com — Fenomena judi online di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Sukamta, menegaskan bahwa persoalan judi daring tidak lagi sebatas isu moral dan sosial, melainkan telah menjadi ancaman sistemik terhadap keamanan data pribadi, keuangan digital, dan stabilitas nasional.
“Praktik judi online dan penyalahgunaan data saling memperkuat, membentuk ekosistem kriminal digital yang mengancam stabilitas finansial dan keamanan warga negara,” ujar Sukamta, Selasa (28/10).
Berdasarkan data aparat penegak hukum, sejak Mei hingga Agustus 2025, Polri telah menangani 235 kasus judi online dengan 259 tersangka, termasuk sindikat lintas negara. Dalam sejumlah kasus, data pribadi warga digunakan untuk membuka rekening bodong yang menjadi sarana transaksi judi daring. Akibatnya, muncul risiko ganda berupa kerugian finansial, kebocoran data, hingga aktivitas keuangan gelap yang sulit dilacak.
Sementara itu, data dari Kejaksaan Agung menunjukkan bahwa pelaku judi daring berasal dari beragam kalangan mulai dari anak sekolah dasar hingga tunawisma. Kejagung mencatat, anak-anak SD bahkan sudah mulai berjudi daring melalui aplikasi slot kecil.
Secara demografis, 88,1 persen pemain judi online adalah laki-laki (1.899 orang), sedangkan perempuan mencapai 11,9 persen (257 orang). Berdasarkan kelompok usia, mayoritas pelaku berusia 26–50 tahun (1.349 orang), disusul kelompok 18–25 tahun (631 orang), lebih dari 50 tahun (164 orang), serta di bawah 18 tahun (12 orang).
Sukamta menilai, maraknya praktik judi online tidak terlepas dari mudahnya akses digital dan lemahnya regulasi perlindungan data pribadi.
“Meskipun UU Perlindungan Data Pribadi Nomor 27 Tahun 2022 sudah berlaku, implementasinya belum optimal. Badan PDP belum maksimal menjalankan fungsi pengawasan dan audit keamanan data, sehingga ruang kebocoran masih terbuka lebar,” jelasnya.
Politisi asal Dapil DIY ini juga menyoroti peran media sosial dan iklan digital dalam memperluas jangkauan promosi judi online. Para agen, katanya, memanfaatkan data demografis dan finansial warga secara ilegal untuk menargetkan kelompok rentan, termasuk pelajar dan penerima bantuan sosial.
“Dampaknya serius. Data pribadi dapat disalahgunakan untuk membuka rekening palsu, pinjaman ilegal, hingga transaksi keuangan gelap. Ini bukan sekadar kejahatan dunia maya, tapi ancaman nyata terhadap keamanan finansial masyarakat,” tegasnya.
Menurut Sukamta, efek domino judi online juga menyentuh ranah sosial: utang meningkat, konflik rumah tangga meluas, hingga keretakan sosial di kalangan muda. Ia menyebut, kondisi ini menjadi alarm bagi negara untuk bertindak lebih cepat dan tegas.
Lebih jauh, kerugian negara juga tidak kecil. Aktivitas judi daring menciptakan rekening dormant dan aliran uang gelap yang tidak tercatat dalam sistem ekonomi resmi. Pengawasan fiskal dan digital pun menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah.
“Yang lebih memprihatinkan, terdapat pemain judi online yang merupakan penerima bantuan sosial (bansos). Ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan ketidaktepatan sasaran bantuan,” kata Sukamta.
Ia mendukung langkah sejumlah pemerintah daerah, termasuk Pemprov DKI Jakarta di bawah Gubernur Pramono Anung, yang melakukan penertiban penerima bansos terindikasi bermain judi online. Kebijakan ini diambil setelah PPATK menemukan 600.000 penerima bansos terlibat aktivitas perjudian daring.
“Pemda perlu berkoordinasi dengan Kementerian Sosial, OJK, dan PPATK agar bansos benar-benar tepat sasaran dan tidak disalahgunakan untuk judi online,” ujarnya.
Untuk mencegah krisis yang lebih luas, Sukamta merekomendasikan lima langkah konkret kepada pemerintah, Pertama, memperkuat regulasi dan implementasi UU PDP melalui pengawasan aktif dan penegakan sanksi tegas terhadap pelanggaran data.
Kedua, menyusun aturan teknis tambahan agar data pribadi terlindungi dari penyalahgunaan oleh aplikasi dan platform ilegal.
Ketiga, mengembangkan sistem peringatan dini digital guna mendeteksi transaksi mencurigakan dan aktivitas judi online.
Keempat, meningkatkan kolaborasi lintas lembaga Kepolisian, OJK, PPATK, dan platform digital untuk menutup celah penyalahgunaan data.
Sementara kelima, melaksanakan program literasi digital nasional agar masyarakat memahami risiko privasi dan keamanan dalam dunia siber.
“Judi online bukan sekadar masalah moral. Ini ancaman nyata bagi keamanan data, keuangan digital, dan masa depan generasi muda Indonesia,” tegas Sukamta.
Ia memberikan peringatan keras, jika tindakan preventif tidak segera dijalankan, praktik judi online akan terus memanfaatkan data warga, menggerogoti stabilitas finansial nasional, dan menghancurkan ketahanan sosial bangsa.
“Ini sangat penting untuk menjadi perhatian, kita tidak bisa menunggu terjadi kasus kebocoran lalu bertindak, harus bergerak cepat,” Pungkasnya.


















































