Warsito Ahmad Qodlofi selaku pemohon Pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menguji sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat melalui permohonan uji materi yang diajukan advokat sekaligus konsultan hukum, Warsito Ahmad Qodlofi.
Permohonan dengan Nomor 227/PUU-XXIII/2025 itu diperdengarkan dalam Sidang Pendahuluan yang digelar Panel Hakim di Ruang Sidang Pleno Gedung 1 MK, Rabu (26/11).
Warsito menguji konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) huruf c, dan Pasal 30 ayat (2) UU Advokat. Menurutnya, rangkaian pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas kepada organisasi advokat mulai dari pengangkatan, keanggotaan, pemberhentian, hingga legitimasi beracara melalui penerbitan dan perpanjangan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA).
“UU Advokat tidak mengenal istilah KTPA sebagai syarat hukum untuk beracara. Penetapan KTPA itu hanya berasal dari aturan internal organisasi advokat dan kebiasaan administratif,” ujar Warsito dalam sidang yang diikutinya secara daring.
Menurut Pemohon, kewenangan organisasi advokat yang demikian besar menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi melanggar hak konstitusional advokat. Ia menilai perpanjangan KTPA telah berubah menjadi instrumen pengendalian profesi yang bisa digunakan secara sewenang-wenang.
“Advokat yang telah disumpah oleh negara dapat terhalang beracara hanya karena KTPA ‘mati’. Ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu hak atas pekerjaan,” tegasnya.
Warsito juga menyoroti adanya potensi penyalahgunaan kewenangan melalui pungutan yang tidak diatur undang-undang. Penyerahan fungsi legitimasi profesi kepada organisasi privat, ujarnya, membuka ruang terjadinya tekanan administratif, diskriminasi, serta biaya-biaya yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Selain itu, ia menilai ketentuan tersebut menciptakan disharmoni kewenangan antara Pengadilan Tinggi dan organisasi advokat.
Sumpah advokat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi selaku representasi negara, tetapi kewenangan praktis untuk menentukan sah tidaknya seorang advokat beracara justru berada di tangan organisasi advokat melalui KTPA. Kondisi ini, kata Warsito, mengakibatkan dualisme dan membawa kerugian nyata bagi dirinya.
Dalam sidang, Panel Hakim memberikan sejumlah catatan penting. Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur meminta Pemohon menguraikan lebih jelas kerugian konstitusional yang dialami.
“Belum ada uraiannya. Baru ada perpanjangan sesuai keputusan organisasi. Jadi jelaskan kerugian hak konstitusional seperti apa, apakah potensial atau faktual. Ini belum tampak dan belum begitu jelas,” tegas Ridwan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani mengingatkan Pemohon untuk merujuk PMK 7/2025 dan mempelajari putusan-putusan MK sebelumnya terkait UU Advokat.
“UU Advokat ini salah satu norma yang paling banyak diuji. Sudah ada sekitar 40 putusan MK. Jika nanti dalilnya sama dan tidak ada alasan berbeda, bisa dipastikan permohonan ini akan di-NO,” ujar Arsul, sambil menekankan pentingnya riset mendalam sebelum memperbaiki permohonan.
Di akhir persidangan, Wakil Ketua MK Saldi Isra memberi tenggat waktu 14 hari bagi Pemohon untuk menyempurnakan permohonannya. Naskah perbaikan harus diserahkan paling lambat 9 Desember 2025 pukul 12.00 WIB sebelum MK menjadwalkan sidang lanjutan untuk mendengarkan pokok-pokok perbaikan permohonan.
Dengan demikian, perkara ini akan kembali diuji untuk melihat apakah kewenangan organisasi advokat dalam mengatur KTPA dan keanggotaan benar-benar telah melampaui batas konstitusional sebagaimana didalilkan Pemohon.


















































