
KabarMakassar.com – Kementerian Sekretariat Negara RI melalui Sekretariat Wakil Presiden menggelar kegiatan Penyerapan Pandangan mengenai Isu Revisi Undang-undang Pemilu untuk Masa Depan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia.
Forum ini berlangsung di Ruang Rapat Senat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Makassar, Jumat (26/09).
Dengan mengusung tema ‘Masa Depan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia’, kegiatan tersebut menghadirkan 26 peserta dari unsur penyelenggara pemilu, akademisi, pemerintah daerah, hingga kelompok masyarakat sipil. Turut hadir Ketua Bawaslu Sulsel, Mardiana Rusli, Ketua KPU Sulsel, Hasbullah, Dekan FISIP Unhas, Phil Sukri, Wakil Dekan Bidang Kemitraan, Riset, Inovasi, dan Alumni, Suparman, serta perwakilan pemerintah daerah dan aktivis kepemiluan.
Ketua Bawaslu Sulsel, Mardiana Rusli, menyoroti pentingnya keseimbangan kelembagaan antara KPU dan Bawaslu dalam struktur penyelenggaraan pemilu. Menurutnya, komposisi yang timpang kerap membuat fungsi pengawasan tidak berjalan maksimal.
“Penguatan kelembagaan perlu memiliki komposisi yang seimbang. Pengawasan tidak boleh dibedakan antara Pemilihan Presiden dan Legislatif. Kita berharap Bawaslu dapat menjadi wasit tunggal yang benar-benar netral,” tegas Mardiana.
Ia juga menekankan urgensi keterwakilan perempuan dalam politik elektoral. Perempuan, kata dia, memiliki kejelian administratif yang bisa berimplikasi pada kualitas produk hukum pemilu.
“Keterwakilan perempuan sangat penting, karena administrasi yang teliti berdampak pada validitas proses demokrasi,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua KPU Sulsel, Hasbullah, menegaskan bahwa inti dari pemilu adalah konversi suara rakyat menjadi kursi keterwakilan. Tiga aspek yang menurutnya paling menentukan adalah daerah pemilihan (dapil), mekanisme pencalonan, dan penetapan calon terpilih.
“Pemilu adalah soal konversi suara menjadi kursi keterwakilan. Itu inti yang tidak boleh diabaikan ketika kita bicara revisi UU Pemilu,” jelas Hasbullah.
Dari sisi peserta, muncul suara yang menekankan pentingnya keterlibatan kelompok rentan. Andi Lukman, salah satu perwakilan, menyebut bahwa politik elektoral harus membuka ruang seimbang bagi laki-laki, perempuan, hingga penyandang disabilitas.
“Saya sepakat keterlibatan perempuan dan disabilitas tidak bisa dikesampingkan. Harus ada aturan afirmatif yang jelas dalam pencalonan,” tegasnya.
Sementara itu, Muhammad Risaldi M dari Kesbangpol Provinsi Sulsel menyoroti aspek koordinasi teknis dan anggaran. Ia menilai Kesbangpol selama ini menjadi ujung tombak koordinasi pemilu di level daerah, namun kerap terkendala pembiayaan.
“Harapan kami ke depan, dalam aturan kementerian harus ada pos belanja khusus kepemiluan. Jangan lagi dibebankan ke belanja tak terduga. Ini penting untuk menjamin kepastian koordinasi,” katanya.
Mewakili Sekretariat Wakil Presiden, Nico Harjanto menyampaikan apresiasinya atas ragam masukan yang muncul. Menurutnya, kegiatan ini bukan sekadar diskusi, tetapi juga ruang membangun rasa memiliki terhadap demokrasi.
“Yang paling penting dari forum ini adalah tumbuhnya kesadaran bersama. Semua masukan akan kami bawa ke tingkat nasional agar revisi UU Pemilu benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat dan tantangan demokrasi ke depan,” Pungkas Nico.