KabarMakassar.com — Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menolak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL).
Diketahui, AZWI terdiri dari 10 organisasi lingkungan, mulai dari YPBB, GIDKP, PPLH Bali, ECOTON, IICEL, hingga WALHI. AZWI merupakan aliansi yang berkomitmen mendorong kebijakan dan praktik pengelolaan sampah berkelanjutan berdasarkan prinsip hirarki pengelolaan sampah dan siklus hidup material.
Mereka menyebut, Beleid baru ini bukan solusi terhadap krisis sampah nasional, melainkan berpotensi menciptakan jebakan fiskal dan memperparah pencemaran lingkungan.
Kebijakan tersebut dinilai minim konsultasi publik dan justru membuka peluang bagi proyek insinerator mahal yang berisiko tinggi secara fiskal. AZWI menilai Perpres 109/2025 bertentangan dengan semangat pengurangan sampah di sumber sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008.
“Di balik narasi ‘energi bersih’ dan ‘modernisasi pengelolaan sampah’ yang melibatkan PLN dan Danantara, terselip skema subsidi semu yang berpotensi menguras puluhan triliun rupiah selama 30 tahun ke depan,” ujar Urban Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia, Atha Rasyadi, Kamis (23/10).
Atha menjelaskan, setiap proyek PSEL berkapasitas 1.000 ton per hari bisa membebani PLN hingga Rp600 miliar per tahun. Kontrak jangka panjang dengan nilai fantastis ini berisiko menjerat keuangan negara dan menciptakan fiscal trap. Ia menilai, Perpres baru ini hanya merupakan perpanjangan dari Perpres 35/2018 yang sudah terbukti gagal secara bisnis maupun teknis.
“Versi baru ini bukan memperbaiki kelemahan lama, justru menaikkan tarif dan memperpanjang kontrak yang seolah menguntungkan investor, padahal membebani PLN, APBN, dan lingkungan,” tegasnya.
Atha juga menyoroti absennya kajian komprehensif dalam penyusunan Perpres. Pemerintah disebut tidak melakukan perbandingan kelayakan antara PSEL dan opsi pengelolaan sampah alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Jika diterapkan dengan standar emisi dan keselamatan yang benar, biaya pengolahan PSEL bisa mencapai Rp1 juta per ton, jauh di atas kemampuan fiskal daerah yang rata-rata hanya mampu menanggung Rp500 ribu per ton.
Studi Universitas Wiralodra, Indramayu, bahkan menunjukkan biaya ideal pengelolaan sampah hanya Rp265 ribu–Rp308 ribu per ton.
“Perbedaan ini menandakan adanya eksternalisasi biaya besar yang ujungnya akan ditanggung masyarakat, sementara keuntungan dinikmati segelintir pihak,” Pungkasnya.
Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI Eksekutif Nasional, Dwi Sawung, menegaskan bahwa teknologi PSEL merupakan opsi paling mahal jika ingin memenuhi standar emisi rendah.
“PSEL adalah opsi paling mahal jika ingin memenuhi standar emisi rendah. Investasinya besar, operasionalnya tinggi, dan pada akhirnya capex serta opex ditanggung PLN atau disubsidi pemerintah,” ujar.
Dwi menegaskan, sebagian besar pemerintah daerah bahkan masih kesulitan mengelola sistem pengumpulan sampah konvensional. “Skema PSEL seperti ini bisa mengunci anggaran publik dalam jangka panjang,” tambahnya.
Secara teknis, mayoritas kota di Indonesia tak memiliki volume timbulan sampah yang cukup untuk memenuhi kapasitas insinerator 1.000 ton per hari. Lebih dari 60 persen sampah Indonesia merupakan sampah organik dengan kadar air tinggi dan nilai kalor rendah, yang tidak layak dibakar.
Selain itu, sistem pengawasan emisi di Indonesia disebut sangat lemah dan tidak transparan. Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 Foundation, mengungkapkan bahwa pengujian emisi dioksin dan furan hanya dilakukan sekali dalam lima tahun.
“Padahal dioksin dan furan bisa keluar kapan saja ketika suhu tungku turun atau bahan bakar tidak stabil. Tanpa pemantauan real-time dan akses data publik, PSEL akan berubah menjadi pabrik racun baru, bukan solusi pengelolaan sampah,” ujarnya tegas.
Dari sisi sosial, proyek serupa seperti PLTSa Putri Cempo di Solo telah menunjukkan kegagalan berulang, mulai dari hambatan investasi hingga konflik dengan warga.
Sementara itu, Direktur Yayasan Gita Pertiwi, Titik Sasanti, menilai proyek tersebut mengabaikan sektor informal seperti pemulung yang selama ini menjadi garda depan pengelolaan sampah.
“Seluruh sampah dialihkan ke fasilitas pembakaran tanpa pemilahan. Para pemulung kehilangan mata pencaharian, padahal material yang dibakar sebagian besar masih bisa didaur ulang,” katanya.
Ia menegaskan bahwa solusi krisis sampah tidak terletak pada pembakaran, tetapi pada pengurangan di sumber melalui sistem pemilahan, pembatasan produk sekali pakai, serta penguatan kebijakan daur ulang. Sekitar 60 persen sampah Indonesia yang bersifat organik dapat diolah tanpa pembakaran, misalnya melalui kompos, maggotisasi, atau biogas komunitas.
Sedangkan, Direktur Operasional YPBB, Fictor Ferdinand, menyebut model Zero Waste Cities di Bandung, Denpasar, dan Gresik telah membuktikan pendekatan berbasis masyarakat jauh lebih murah dan berkelanjutan dibanding teknologi PSEL.
“Masalahnya bukan di teknologi, tapi di tata kelola dan kemauan politik. Jika pemerintah serius menerapkan pemilahan di sumber dan menegakkan Permen LHK 75/2019 tentang pengurangan sampah oleh produsen, masalah ini bisa diatasi tanpa membakar sampah,” ujarnya.
Direktur Ecoton, Daru Setyorini, menegaskan bahwa pemilahan di sumber adalah kunci utama.
“Jika pemerintah justru mendorong pembakaran, berarti kita sedang menyalakan polusi di udara dan menyebarkan racun dioksin serta mikroplastik ke lingkungan dan rantai makanan manusia,” tegasnya.
Ia meninjau ulang Perpres 109/2025 dan mengalihkan fokus pada sistem pengelolaan sampah yang lebih adil, transparan, dan berorientasi pada pengurangan di sumber.
“PSEL bukan solusi krisis sampah, melainkan jalan pintas yang berisiko mahal secara ekonomi, sosial, dan lingkungan,” tutupnya.


















































