Tangkapan Layar Nenek Wahbah (85) Digotong Saat Pergi Mengambil Raskin, (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Seorang nenek lanjut usia bernama Wahbah (85), warga Kelurahan Maricaya Baru, Kecamatan Makassar, terpaksa harus digotong oleh kerabat dan tetangganya demi mengambil bantuan beras miskin (raskin).
Peristiwa ini terjadi pada Selasa (16/12) dan menyita perhatian publik karena memperlihatkan wajah pelayanan sosial yang dinilai minim empati terhadap warga lansia.
Dalam kondisi tubuh yang sudah renta dan tidak lagi mampu berjalan, Wahbah diangkut menggunakan bentor (becak motor) menuju Kantor Kelurahan Maricaya Baru. Langkah itu diambil setelah pihak keluarga disebut-sebut tidak diperbolehkan mewakili pengambilan bantuan, meskipun telah membawa dokumen kependudukan yang dibutuhkan.
Menantu Wahbah, Emmi (65), menceritakan awal kejadian bermula saat keluarga menerima informasi pembagian sembako di lingkungan tempat tinggal mereka. Karena kondisi Wahbah yang tidak memungkinkan untuk datang sendiri, keluarga meminta adik Emmi, Ati, untuk mengambilkan bantuan tersebut.
Namun, setibanya di kantor kelurahan, Ati disebut ditolak oleh petugas. Alasannya, bantuan harus diambil langsung oleh penerima.
“Dia bilang harus bawa KTP mama. Sudah dibawa KTP-nya, tapi tetap tidak bisa,” ujar Emmi, menceritakan pengalaman keluarganya.
Penolakan itu membuat keluarga akhirnya memutuskan membawa Wahbah langsung ke kantor kelurahan, meski harus digotong. Kejadian tersebut memicu emosi kerabat dan menjadi sorotan warga sekitar.
Menanggapi kejadian itu, Lurah Maricaya Baru, Budianto, menyebut insiden tersebut terjadi akibat miskomunikasi antara warga dan staf kelurahan. Ia menegaskan tidak ada niat menolak hak warga penerima bantuan.
“Mungkin staf berdiri untuk mempertahankan juknis. Tidak mungkin staf tidak kasih kalau memang itu haknya. Ini persoalan administrasi dan miskomunikasi,” kata Budianto, Rabu (17/12).
Budianto mengaku baru mengetahui kejadian tersebut setelah pulang dari rapat di Balai Kota Makassar. Saat tiba di kantor, ia mendapati keluarga Wahbah dalam kondisi emosi dan langsung meminta penjelasan.
“Ternyata mereka mau ambil sembako, tapi ada informasi yang mereka terima bahwa tidak bisa diwakili,” jelasnya.
Menurut Budianto, secara aturan teknis (juknis), pengambilan bantuan memang tidak bisa diwakili oleh sembarang orang. Namun, ia menegaskan bantuan tetap bisa diambil oleh anggota keluarga yang namanya tercantum dalam Kartu Keluarga (KK) penerima.
“Kalau yang ambil itu ada dalam KK, sebenarnya bisa. Tapi warga hanya menerima informasi tidak bisa diwakili, makanya terjadi salah paham,” ujarnya.
Setelah mengetahui duduk persoalan, Budianto langsung menginstruksikan stafnya untuk melayani keluarga Wahbah dan menyerahkan bantuan yang menjadi haknya.
“Saya suruh itu ibu menunggu dan langsung masuk. Saya bilang ke staf, bagikan haknya orang. Kalau ada di data, itu haknya orang, nanti saya yang tanggung jawab administrasinya,” tegas Budianto.
Sebagai bentuk tanggung jawab, Budianto mengaku telah mengunjungi nenek Wahbah di rumahnya keesokan harinya. Ia juga berjanji akan melakukan evaluasi internal terhadap pola pelayanan di kantor kelurahan agar kejadian serupa tidak terulang.
“Kejadian ini jadi evaluasi bagi kami, terutama soal pelayanan kepada warga lansia dan kelompok rentan,” pungkasnya.

















































