
KabarMakassar.com— Anggota Komisi XII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ateng Sutisna, menyoroti masih maraknya praktik pertambangan tanpa izin (PETI) di berbagai daerah di Indonesia.
Ia menilai, aktivitas ilegal ini tak hanya merugikan negara dari sisi ekonomi, tetapi juga menimbulkan kerusakan lingkungan dan mengganggu stabilitas sosial di wilayah pertambangan.
Menurut Ateng, persoalan PETI telah menjadi salah satu tantangan serius dalam tata kelola pertambangan nasional. Meskipun pemerintah telah menggulirkan sejumlah kebijakan reformasi melalui teknologi dan sistem transparansi, namun lemahnya penegakan hukum membuat berbagai inisiatif tersebut belum berdampak signifikan di lapangan.
“Pemerintah sudah melakukan berbagai langkah perbaikan, seperti implementasi Minerba One Data Indonesia (MODI), Minerba One Map Indonesia (MOMI), serta pemanfaatan sistem EPNBP untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pendapatan negara. Tapi kalau praktik tambang ilegal tetap dibiarkan, maka sebaik apa pun sistemnya tidak akan efektif,” ujar Ateng dalam keterangannya, Selasa (29/07).
Ia menegaskan bahwa PETI bukan hanya soal pelanggaran administratif, melainkan juga ancaman nyata terhadap lingkungan hidup, ketertiban sosial, serta keadilan ekonomi. Aktivitas tambang ilegal kerap melibatkan aktor-aktor kuat yang membekingi operasi di lapangan, mulai dari preman lokal hingga oknum pejabat.
“Kerugian negara akibat PETI sangat besar, baik dari hilangnya potensi pendapatan negara hingga kerusakan ekosistem yang sulit dipulihkan. Selain itu, praktik ini menimbulkan konflik horizontal dan menciptakan ketimpangan antara pelaku usaha tambang legal dan ilegal,” kata Ateng.
Ia menyambut baik kolaborasi lintas lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam membenahi sektor ini. Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan program-program tersebut sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi aparat dalam melakukan pengawasan dan penindakan hukum.
“Sudah saatnya pemerintah memperkuat sinergi antar-instansi dalam menindak PETI. Tidak cukup hanya dengan regulasi dan sistem digital, tetapi harus disertai penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku dan pihak yang membekingi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Ateng mendorong pemerintah untuk mempublikasikan data terbaru terkait sebaran wilayah PETI secara transparan kepada publik. Menurutnya, data yang terbuka akan memperkuat partisipasi masyarakat sipil dalam pengawasan serta meningkatkan tekanan terhadap pelaku tambang ilegal.
“Kami mendesak agar data PETI diperbarui dan dibuka ke publik. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Negara harus menunjukkan keberpihakannya pada pelaku usaha yang taat hukum dan serius menjaga keberlanjutan sumber daya alam,” ujar Ateng.
Ia pun menekankan bahwa keberadaan PETI tidak boleh dianggap sebagai bagian dari ekonomi rakyat atau lapangan kerja alternatif. Justru sebaliknya, PETI menciptakan kerusakan jangka panjang dan merugikan masyarakat lokal yang seharusnya mendapat manfaat dari pengelolaan sumber daya secara sah dan berkelanjutan.
“Jika pemerintah terus membiarkan PETI berjalan tanpa kendali, maka kedaulatan negara atas kekayaan alam hanya tinggal slogan. Negara harus hadir, menegakkan keadilan, dan memastikan keberlanjutan pengelolaan tambang untuk generasi mendatang,” pungkas Ateng.