
KabarMakassar.com — Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Makassar kembali menuai gelombang penolakan.
Ratusan warga, sebagian besar emak-emak dari kawasan Mula Baru, Tamalalang, Alamanda, dan Akasia, berbondong-bondong mendatangi Balai Kota Makassar, Selasa (21/10), untuk menolak proyek tersebut.
Mereka membawa serta anak-anak dan poster berisi aspirasi agar pemerintah membatalkan rencana pembangunan PLTSa di wilayah mereka. Warga khawatir proyek itu menimbulkan dampak lingkungan dan kesehatan bagi permukiman sekitar.
Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin (Appi), menegaskan bahwa pemerintah tidak akan memaksakan proyek yang belum melalui kajian mendalam.
“Saya sampaikan kepada teman-teman tadi, semua butuh kajian yang lebih detail. Supaya masalah ini tidak menimbulkan persoalan baru, baik dari sisi investasi maupun teknis. Kita akan bahas bersama secara terbuka,” ujar Appi, Selasa (21/10).
Ia menegaskan, setiap proyek pembangunan harus berpijak pada kelayakan dan penerimaan sosial masyarakat. Jika hasil kajian menyimpulkan lokasi tersebut tidak memungkinkan, maka proyek tidak akan dilanjutkan di titik itu.
“Kalau memang di situ tidak bisa dilaksanakan, ya jangan dibangun di situ. Saya tegas soal itu,” kata Appi.
Menurutnya, pemerintah tidak ingin terburu-buru dalam mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan banyak pihak. Ia menilai proyek PLTSa perlu dikaji dari berbagai aspek, termasuk teknologi, dampak lingkungan, dan tata ruang kota.
Appi juga menyinggung bahwa dasar hukum terkait pembangunan PLTSa sudah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres), namun pelaksanaannya harus tetap menyesuaikan dengan kondisi nyata di lapangan.
“Perpresnya memang sudah ada, tapi penerapannya harus sesuai konteks daerah,” tutupnya.
Sebelumnya, Koordinator lapangan aliansi Geram PSLTa, Azis, menyebut proyek PLTSa yang akan di bangun oleh PT Sarana Utama Energy (PT SUS) sebagai kebijakan yang menyesatkan. Ia menilai dalih pengelolaan sampah ramah lingkungan justru menjadi ancaman baru bagi masyarakat.
“PLTSa bukan solusi, tapi sumber bahaya baru. Insinerator itu membakar sampah dan menghasilkan zat beracun seperti dioksin dan furan yang bisa menyebabkan kanker, gangguan hormon, dan merusak sistem kekebalan tubuh,” ujarnya di hadapan massa.
Azis menegaskan, kebijakan yang diklaim sejalan dengan Perpres Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Energi Terbarukan justru menyalahi prinsip pengelolaan sampah berkelanjutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008.
Menurutnya, PLTSa hanya memperkaya korporasi dan membebani keuangan daerah melalui skema tipping fee biaya kompensasi yang wajib dibayar pemerintah kepada operator selama masa operasi proyek yang bisa mencapai 30 tahun.
“Bayangkan, APBD Makassar harus menanggung beban anggaran puluhan tahun hanya untuk proyek yang menguntungkan swasta. Ini bentuk ketidakadilan fiskal yang akan merugikan rakyat,” tegasnya.
Selain soal kesehatan dan ekonomi, warga juga menuding proyek ini cacat prosedural. Mereka menilai proses sosialisasi yang dilakukan PT SUS tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat secara bermakna. Pertemuan yang diklaim sebagai bentuk partisipasi warga disebut hanya formalitas tanpa kesepakatan.
“Kami tidak pernah menyetujui proyek ini. Pemerintah harus tahu, masyarakat bukan sekadar objek pembangunan. Kami punya hak untuk menolak,” tambah Azis.