
KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menangani pelanggaran administrasi pemilihan kepala daerah (pilkada) kini memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Tidak lagi bersifat sekadar rekomendasi, keputusan Bawaslu dalam konteks pilkada kini setara dengan putusan final yang wajib dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hal ini diputuskan dalam Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 104/PUU-XXIII/2025 Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 ini adalah tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, pada Rabu (30/07).
MK mengabulkan permohonan uji materi terhadap Pasal 139 dan Pasal 140 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang selama ini hanya memberikan Bawaslu kewenangan memberi ‘rekomendasi’ atas temuan pelanggaran administratif dalam pilkada.
“Frasa ‘memeriksa dan memutus’ serta kata ‘rekomendasi’ dalam pasal tersebut harus ditafsirkan sebagai ‘menindaklanjuti putusan’. Ini demi menjamin kepastian hukum dan integritas pilkada,” tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
MK menilai perlakuan berbeda antara pemilu dan pilkada dalam konteks kewenangan Bawaslu berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam pemilu, Bawaslu memiliki kewenangan memutus pelanggaran administratif dan KPU wajib menindaklanjutinya. Namun dalam pilkada, Bawaslu hanya dianggap memberi rekomendasi yang tidak wajib dipatuhi.
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyoroti ketimpangan ini sebagai bentuk ketidaksinkronan hukum. Ia menegaskan, “Dengan putusan ini, penanganan pelanggaran administrasi pilkada harus memiliki kekuatan hukum yang sama dengan pemilu. KPU tidak boleh lagi mengabaikan hasil pengawasan Bawaslu atau mengkaji ulang substansinya.”
Putusan MK ini muncul sebagai respons atas permohonan uji materi yang diajukan sejumlah warga negara yang memandang bahwa lemahnya posisi Bawaslu dalam pilkada selama ini berpotensi merugikan peserta dan merusak integritas pemilihan. Permohonan tersebut mempermasalahkan penggunaan istilah ‘rekomendasi’ yang dianggap mereduksi efektivitas pengawasan Bawaslu dalam menindak pelanggaran administrasi.
Selain mengubah tafsir terhadap pasal-pasal tersebut, MK juga mendorong pembentuk undang-undang untuk segera menyelaraskan regulasi antara pemilu dan pilkada. Tujuannya adalah untuk menghindari dualisme norma serta memperkuat sistem hukum kepemiluan secara keseluruhan.
“Penyeragaman pengaturan antara pemilu dan pilkada menjadi penting agar seluruh tahapan berjalan dalam kerangka hukum yang konsisten, adil, dan tidak multitafsir,” lanjut Suhartoyo.
Dengan demikian, putusan ini tidak hanya memperkuat peran Bawaslu dalam pengawasan pilkada, tetapi juga menandai babak baru dalam penegakan hukum administrasi pemilu di tingkat daerah. Bawaslu kini memiliki pijakan hukum yang jelas dan mengikat dalam menjalankan fungsinya, sedangkan KPU tidak lagi memiliki ruang untuk menafsirkan ulang atau mengabaikan putusan pengawas pemilu.
Putusan MK ini disambut sebagai langkah maju dalam memperkuat demokrasi lokal dan mendorong penegakan aturan main pilkada secara lebih tegas dan berkeadilan.