BBM Pertalite Rp10.000 per Liter, Tapi Negara Bayar Lebih dari Itu!

9 hours ago 3
BBM Pertalite Rp10.000 per Liter, Tapi Negara Bayar Lebih dari Itu!Antrian pengisian BBM di SPBU Pintu 01 Unhas, Makassar (Dok : Andini KabarMakassar).

KabarMakassar.com — Pemerintah kembali menegaskan bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite (RON 90) yang saat ini dijual Rp10.000 per liter masih jauh di bawah harga keekonomian.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyebut, pemerintah masih menanggung selisih harga sekitar Rp1.700 per liter melalui subsidi energi agar harga BBM tetap terjangkau masyarakat.

“Selama ini pemerintah menanggung selisih antara harga keekonomian dan harga jual di masyarakat melalui pemberian subsidi energi maupun non-energi,” ujar Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta beberap waktu lalu.

Menurutnya, harga keekonomian Pertalite sebenarnya mencapai Rp11.700 per liter.

Penahanan harga dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan menekan potensi inflasi di tengah fluktuasi harga minyak dunia serta pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Harga BBM Non-Subsidi Naik, Pertamina Tetap Tahan Pertalite

Sementara itu, PT Pertamina (Persero) telah menetapkan harga baru untuk produk BBM non-subsidi per 1 Oktober 2025. Berdasarkan pengumuman resmi, harga Pertamax RON 92 tetap di level Rp12.200 per liter, sedangkan Pertamax Turbo dibanderol Rp13.100 per liter.

Untuk jenis diesel, Pertamina Dex naik menjadi Rp14.000 per liter dari sebelumnya Rp13.850 per liter. Dexlite juga mengalami penyesuaian ke Rp13.700 per liter dari harga September sebesar Rp13.600 per liter.

Meski begitu, pemerintah masih menahan harga Pertalite dan Solar subsidi untuk menjaga stabilitas ekonomi, kendati beban subsidi energi terus membengkak.

Jejak Subsidi BBM di Era SBY: Murah tapi Mahal di Anggaran

Kebijakan subsidi BBM bukan barang baru. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), subsidi BBM menjadi tulang punggung stabilitas harga energi rakyat, namun sekaligus momok besar bagi anggaran negara.

Pada 2005, harga Premium yang saat itu menjadi BBM subsidi utama, dijual Rp2.400 per liter. Namun lonjakan harga minyak dunia yang menembus US$147 per barel membuat pemerintah terpaksa menaikkan harga Premium menjadi Rp4.500 per liter. Subsidi BBM tahun itu mencapai Rp157,7 triliun, tertinggi dalam sejarah Indonesia saat itu.

Krisis serupa berulang pada 2013 ketika harga Premium kembali naik menjadi Rp6.500 per liter dan Solar subsidi menjadi Rp5.500 per liter. Anggaran subsidi membengkak hingga Rp272,6 triliun.
Selama satu dekade kepemimpinan SBY (2004–2014), total subsidi BBM tercatat lebih dari Rp1.800 triliun, menyedot hingga 15–20 persen dari belanja pemerintah pusat.

Era Jokowi: Dari Subsidi Universal ke Subsidi Tepat Sasaran

Memasuki pemerintahan Joko Widodo, paradigma subsidi energi berubah total. Jokowi mengambil langkah berani dengan menghapus subsidi BBM universal dan menggantinya dengan subsidi yang lebih tepat sasaran serta bantuan tunai langsung (cash transfer).

Pada November 2014, pemerintah menghapus Premium sebagai BBM subsidi dan memperkenalkan Pertalite dengan harga Rp7.650 per liter. Solar subsidi dipatok Rp6.500 per liter. Akibatnya, belanja subsidi BBM langsung turun menjadi Rp219,4 triliun.

Periode 2015–2017 menjadi masa stabilisasi harga, ketika subsidi menurun tajam seiring turunnya harga minyak dunia, dari Rp219 triliun pada 2014 menjadi Rp126,9 triliun pada 2017.

Namun sejak 2018, tren kembali berbalik. Harga minyak mentah naik, permintaan domestik meningkat, dan subsidi pun melonjak. Tahun 2022, di tengah harga minyak global menembus US$120 per barel, subsidi energi melonjak ke Rp502,4 triliun, terbesar dalam satu dekade terakhir.

Memasuki 2024–2025, pemerintah masih menahan harga Pertalite di Rp10.000 per liter dan Solar subsidi di Rp10.500 per liter. Subsidi BBM pada 2024 tercatat Rp376,8 triliun, dengan proyeksi tahun 2025 berada di kisaran Rp350–380 triliun.

Antara Stabilitas dan Risiko Fiskal

Kebijakan menahan harga BBM subsidi menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, langkah ini menjaga inflasi dan daya beli. Namun di sisi lain, beban subsidi yang terus meningkat menggerus ruang fiskal pemerintah.

Sejak era SBY hingga Jokowi, perdebatan soal subsidi BBM selalu sama: apakah negara harus terus “membakar uang” demi harga murah, atau berani melepasnya ke mekanisme pasar?

Kini, di bawah pemerintahan Prabowo Subianto, tantangannya masih serupa. Menjaga keseimbangan antara politik populis dan realitas fiskal. Pertalite tetap Rp10.000 per liter, tapi ongkosnya bisa jauh lebih mahal bagi APBN.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news