
KabarMakassar.com — Urgensi revisi regulasi pemilu mengemuka dalam Workshop Publik Nasional Menuju Pemilu yang Adil dan Representatif yang digelar di Ballroom Hotel Unhas, Makassar, Selasa (29/07).
Dua tokoh penting, Wakil Menteri (Wamendagri) Dalam Negeri Bima Arya dan Anggota Komisi II DPR RI Taufan Pawe, kompak menyoroti perlunya konsistensi, integritas, dan keberlanjutan dalam sistem pemilu Indonesia.
Dalam sesi diskusi yang menghadirkan sejumlah akademisi dan pemangku kepentingan, Taufan Pawe (TP) menyoroti langsung evaluasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dan mendorong agar hasil evaluasi tersebut dijadikan landasan dalam menyempurnakan regulasi pemilu.
“Kami di Komisi II berharap semua permasalahan yang muncul dibuka dulu sebelum masuk dalam sistem kepemiluan ke depan,” ujar Taufan.
Ia juga menyoroti praktik pelanggaran seperti penggunaan ijazah palsu oleh calon kepala daerah. Menurutnya, verifikasi dokumen harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya administratif.
“Verifikasi ijazah harus materil juga, bukan cuma syarat formal. Penyelenggara harus dibekali kewenangan tegas untuk memverifikasi,” tegasnya.
Taufan juga mengingatkan pentingnya integritas penyelenggara dan kewenangan yang jelas dalam menetapkan validitas dokumen calon.
“Harus ada batasan tersendiri dalam dokumen. Kami di DPR sedang merumuskan bagaimana penyelenggara bisa punya kekuatan hukum dalam menentukan validitasnya.”
Ia menegaskan, meskipun ada pro dan kontra soal keserentakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tetap harus dihormati dan dijadikan pijakan.
“Tidak ada pilihan lain. Putusan MK itu final dan mengikat. Itu simbol kenegaraan kita,” tegasnya.
Sementara itu, Wamendagri Bima Arya menegaskan bahwa sistem kepemiluan Indonesia harus dirancang secara stabil dan tidak mudah berubah.
“Sistem ini harus ajek. Kalau terus berubah setiap lima tahun, demokrasi kita tidak akan matang,” tegas Bima.
Ia mengakui bahwa dulu dirinya tidak sepakat dengan sistem serentak, namun saat ini yang lebih penting adalah bagaimana sistem yang ada tidak mudah diputarbalikkan hanya karena perubahan arah politik.
“Bukan soal setuju atau tidak serentak. Tapi kita harus hati-hati. Jangan tergesa-gesa. Harus dihitung dampaknya, baik secara politik, ekonomi, dan sosial. Jangan sampai bangsa ini pecah hanya karena politik,” ujarnya.
Soal revisi UU Pemilu, Bima menyebut bahwa pemerintah membuka ruang diskusi dengan harapan tak terjadi tumpang tindih dengan tahapan pemilu yang sudah berjalan.
“Kita tentu ingin revisi ini tidak beririsan dengan tahapan yang sedang berjalan. Ruang diskusi ini penting agar proses revisi berjalan tepat waktu dan tepat arah,” Pungkasnya.
Sedangkan, Dekan FISIP Unhas, Prof. Muhammad, mengingatkan bahwa perubahan regulasi pemilu harus melibatkan semua unsur dan tidak hanya berorientasi politik kekuasaan.
“Ini bukan semata soal sistem, tapi soal legitimasi demokrasi kita. Akademisi, publik, dan penyelenggara harus duduk bersama.”
Senada dengan itu, dosen FISIP Unhas, Endang Sari, menekankan pentingnya menyusun kalender pemilu yang realistis dan membangun literasi publik yang kuat.
“Sistem campuran bisa dicoba, tapi tidak bisa ujug-ujug. Harus dikaji mendalam dan diuji dampaknya. Pemilu itu bukan eksperimen politik.”
Setelah melakukan diskusi beberapa rekomendasi konkret yang mencuat diantaranya:
1. Penyusunan Omnibus Law Pemilu agar regulasi lebih sederhana dan menyeluruh.
2. Penataan ulang kalender nasional dan daerah secara realistis.
3. Evaluasi sistem serentak dan uji coba sistem campuran.
4. Peningkatan kapasitas penyelenggara dan literasi digital pemilu bagi masyarakat.
5. Keterlibatan aktif publik dan akademisi demi menjaga legitimasi demokrasi.