
KabarMakassar.com — Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat sebanyak 282 perkara terkait obat dan makanan ilegal ditangani sepanjang tahun 2024.
Dari jumlah tersebut, 124 perkara melibatkan obat, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif, 55 perkara terkait obat bahan alam (OBA), 91 perkara kosmetik, serta 12 perkara pangan olahan.
Kasus besar yang diungkap BPOM antara lain temuan ratusan drum berisi bahan kimia obat (BKO) di Semarang, Marunda, dan Cikarang, Jawa Barat dengan nilai Rp389 miliar.
BPOM juga menemukan OBA mengandung BKO di Klaten dan Kudus, Jawa Tengah senilai Rp3,74 miliar, kosmetik berbahaya di Tangerang dan beberapa kota lain senilai Rp5,5 miliar.
Serta pangan olahan berupa mi basah mengandung formalin di Pematang Siantar, Sumatra Utara, senilai Rp200 juta.
Dari hasil pengawasan, BPOM masih menemukan peredaran produk tidak memenuhi syarat (TMS). Obat bahan alam (OBA) dan suplemen kesehatan kerap mengandung bahan kimia obat (BKO), seperti sildenafil sitrat, tadalafil, sibutramin, deksametason, hingga tramadol.
Kosmetik juga masih ditemukan mengandung asam retinoat, hidrokuinon, atau steroid serta bahan berbahaya/bahan dilarang lainnya.
Selain itu, pangan olahan ditemukan menggunakan formalin, boraks, hingga pewarna tekstil rhodamin B dan kuning metanil bahkan ada yang ditambahkan BKO.
Produk-produk tersebut terbukti menimbulkan risiko serius bagi kesehatan, mulai dari kerusakan hati, ginjal, meningkatkan risiko kanker hingga kematian.
Kepala BPOM Taruna Ikrar menegaskan bahwa pengawasan tidak boleh berhenti pada produk jadi. Menurutnya, pendekatan baru harus dilakukan dengan menyasar rantai pasok bahan berbahaya sejak dari hulu.
“BPOM menyadari upaya pengawasan dan penindakan harus dilakukan dari hulu, yaitu dari rantai pasok bahan berbahaya atau bahan dilarang yang digunakan untuk produksi sediaan farmasi dan pangan olahan. Pendekatan ini merupakan lompatan penting, yang lebih dari sekadar melakukan penindakan di hilir atau produk jadi,” jelasnya.
Dia menekankan komitmen BPOM untuk menindak tegas pelanggar dengan sanksi hukum pidana maupun administratif, agar muncul efek jera.
Sebab kata dia, perlindungan kesehatan masyarakat sekaligus keberlangsungan industri nasional adalah prioritas utama.
“Selama bahan berbahaya masih bebas beredar tidak sesuai ketentuan, maka selama itu juga kesehatan masyarakat akan terancam. Untuk itulah pencegahan dan penanganan rantai pasok bahan berbahaya dan bahan dilarang harus menjadi fokus utama,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa penanganan rantai pasok lebih rumit dibanding penindakan di produk akhir.
Hal ini disebabkan beberapa jenis bahan berbahaya diperbolehkan digunakan untuk suatu komoditi, namun dilarang untuk komoditi lainnya.
“Oleh karena itu, akan jauh lebih efektif, jika hal ini ditangani bersama antara BPOM dengan pemangku kepentingan terkait baik kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah serta asosiasi pelaku usaha, sesuai kewenangannya masing-masing,” ungkapnya.