Bulog Tegaskan Mixing Beras Sah, Kecuali untuk Produk Subsidi

1 month ago 24
Bulog Tegaskan Mixing Beras Sah, Kecuali untuk Produk SubsidiDirektur Bisnis Perum Bulog, Febby Novita, (Dok: Ist).

KabarMakassar.com – Perum Bulog menegaskan bahwa praktik pencampuran atau mixing beras merupakan hal sah dalam industri perberasan nasional, asalkan dilakukan secara transparan, terukur, dan sesuai dengan standar mutu yang berlaku.

Penegasan ini disampaikan Direktur Bisnis Perum Bulog, Febby Novita, saat berkunjung ke Sulawesi Selatan, Rabu (30/07).

Menurut Febby, persepsi negatif terhadap istilah oplosan perlu diluruskan. Dalam praktik industri, pencampuran beras bukanlah pelanggaran, melainkan strategi mutu yang lazim dilakukan demi mencapai klasifikasi tertentu, seperti kualitas premium.

“Bulog melakukan oplos dalam konotasi positif. Misalnya untuk beras premium, yang patahannya maksimal hanya 15 persen. Maka beras patah dicampur dengan beras utuh. Itu dilakukan secara terukur,” jelasnya.

Ia menyebut proses mixing dilakukan di fasilitas modern rice to rice milik Bulog. Di Sulsel, Bulog memiliki dua pabrik sejenis di Makassar dan Sidrap. Tujuannya adalah menciptakan keseragaman kualitas beras, baik kategori medium maupun premium, sesuai kebutuhan pasar.

Selain faktor teknis, pencampuran juga mempertimbangkan preferensi lokal. Di kota seperti Makassar, kata Febby, konsumen berasal dari berbagai latar belakang budaya yang punya kebiasaan berbeda dalam memilih beras.

“Orang Sumatera dan Jawa, misalnya, sering mencampur varietas tertentu sebelum dikonsumsi. Jadi praktik ini juga menjawab kebutuhan pasar,” ujarnya.

Namun, Febby menegaskan bahwa tidak semua bentuk pencampuran dibenarkan. Ia secara tegas melarang mixing terhadap beras bersubsidi, khususnya produk SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan).

“SPHP adalah beras subsidi yang peruntukannya jelas. Tidak boleh dicampur lalu dijual ulang sebagai beras premium. Itu pelanggaran,” tegasnya.

Dalam skema subsidi SPHP, lanjut Febby, harga jual di gudang Bulog adalah Rp11.000 per kilogram. Selisih sekitar Rp3.000 per kilogram ditanggung pemerintah sebagai bentuk intervensi harga. Oleh karena itu, menjualnya di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan, yakni Rp12.500 per kilogram, adalah tindakan yang mencederai program.

“Kalau beras SPHP dijual dengan label premium seharga Rp14.900, itu jelas manipulatif. Mitra Rumah Pangan Kita (RPK) harus tahu batasan ini. Transparansi penting,” tegas Febby lagi.

Ia menambahkan, Bulog tidak hanya menekankan kepatuhan aturan, tetapi juga memperhatikan keberlangsungan usaha mitra. Menurutnya, margin keuntungan tetap diperbolehkan selama masih dalam batas wajar dan tidak melanggar HET.

“Kalau RPK beli di gudang Rp11.000, lalu ingin menambah biaya pengantaran Rp500, itu silakan saja. Asal totalnya masih di bawah HET,” katanya.

Febby berharap mitra RPK tidak sekadar menjadi penjual, tetapi turut menjadi bagian dari sistem distribusi pangan nasional yang bertanggung jawab. Dalam konteks ini, edukasi publik dan sosialisasi aturan menjadi bagian penting dalam menjaga kepercayaan masyarakat.

“Bulog tetap membuka ruang dialog agar distribusi beras berjalan adil dan berkelanjutan. Kuncinya ada pada keterbukaan. Mixing boleh, tapi bukan untuk beras subsidi. Semua harus jelas, dari sumber, proses, hingga harga,” tutup Febby.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news