CEO PT KabarMakassar, Upi Asmaradhana saat Membuka Lokakarya Penguatan Jurnalisme dan Teknologi, (Dok: KabarMakassar).KabarMakassar.com — CEO PT KabarMakassar, Upi Asmaradhana, menegaskan bahwa jurnalis di Indonesia Timur masih berada dalam kondisi rentan, baik dari sisi keamanan kerja, infrastruktur digital, hingga perlindungan kebebasan pers.
Kerentanan ini dinilai menjadi tantangan serius dalam membangun ekosistem media yang sehat dan tangguh di tengah maraknya misinformasi dan disinformasi.
Hal tersebut disampaikan Upi dalam lokakarya penguatan jurnalisme dan teknologi yang digelar KabarMakassar bekerja sama dengan BBC Media Action di Bikin-Bikin Creative Hub, Nippal Mall Kota Makassar, Rabu (17/12).
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya mendorong kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat ekosistem informasi di Indonesia Timur agar mampu melawan arus hoaks dan manipulasi informasi.
Upi menyampaikan bahwa program kolaborasi KabarMakassar–BBC Media Action yang digagas sejak 2025 bukan sekadar agenda seremonial, melainkan gerakan berkelanjutan yang dikawal langsung melalui rangkaian pertemuan di berbagai kota. Sejumlah daerah seperti Makassar, Ternate, hingga Jakarta menjadi titik temu jurnalis, aktivis, akademisi, dan penggiat media dari Papua, Maluku, Sulawesi, dan kawasan timur lainnya.
Dari rangkaian diskusi tersebut, Upi menilai persoalan utama yang terus berulang adalah ketimpangan.
Ketimpangan ekonomi, ketimpangan infrastruktur digital, serta ketimpangan perlindungan terhadap profesi jurnalis masih sangat terasa di Indonesia Timur jika dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
“Sebagian besar wilayah 3T berada di Indonesia Timur. Dalam kondisi ini, jurnalis bekerja dengan keterbatasan akses teknologi, jaringan informasi, bahkan keamanan. Ini memperbesar kerentanan mereka,” kata Upi.
Ia juga menyoroti masih adanya kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia Timur sebagai alarm serius bagi kebebasan pers. Menurutnya, situasi tersebut menunjukkan bahwa kerja jurnalistik masih kerap berhadapan dengan tekanan, intimidasi, dan minimnya perlindungan yang memadai.
“Kita tidak bisa bicara demokrasi yang sehat jika jurnalis masih bekerja dalam ketakutan. Perlindungan jurnalis harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya media,” ujarnya.
Upi menilai kolaborasi dengan BBC Media Action menjadi langkah strategis untuk mendorong perubahan. Salah satu capaian penting dari kerja bersama ini adalah lahirnya regulasi kepala daerah dalam waktu relatif singkat, yang menurutnya menjadi bukti bahwa kolaborasi media, masyarakat sipil, dan pemerintah mampu menghasilkan kebijakan yang berdampak nyata.
Ke depan, Upi menyebut terdapat dua agenda lanjutan utama. Pertama, pengembangan platform Human Rights Tech Law yang mengintegrasikan kerja media, aktivis, dan akademisi, termasuk pemanfaatan teknologi berbasis kecerdasan buatan agar tetap dapat digunakan di wilayah dengan keterbatasan internet. Kedua, penguatan isu-isu yang selama ini kerap terpinggirkan, seperti perempuan dan anak, kesehatan ibu dan anak, serta masyarakat pesisir di Indonesia Timur.
Upi menegaskan, penguatan ekosistem media tidak hanya soal teknologi dan regulasi, tetapi juga soal keberpihakan pada isu-isu kemanusiaan yang nyata dihadapi masyarakat. Menurutnya, selama Indonesia Timur masih berada di pinggiran perhatian nasional, peran media menjadi semakin krusial untuk memastikan suara dari kawasan timur tetap terdengar.
“Indonesia Timur tidak boleh hanya dilihat saat dibutuhkan. Ekosistem media yang kuat adalah salah satu kunci agar ketimpangan ini terus disuarakan dan diperjuangkan,” pungkasnya.

















































