Dari Jajanan Pasar ke Sekolah Negeri: Kisah Siti, Guru di Maros yang Merajut Mimpi di Tengah Keterbatasan Hidup

1 hour ago 1

KabarMakassar.com – Siti Rahmawati (41), seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) bersertifikasi di sebuah sekolah negeri di Kecamatan Marusu Kabupaten Maros, adalah bukti nyata bahwa mimpi yang tertunda bukanlah mimpi yang hilang.

Perjalanan Siti adalah rentetan panjang perjuangan, dimulai dari masa kecil yang penuh kekurangan, putus sekolah, merantau, hingga akhirnya kembali ke desa dan merintis ulang cita-citanya di usia matang.

Hidup Siti bermula dari kepahitan masa kecil yang terukir di sebuah desa terpencil. Ia dibesarkan oleh sang nenek, setelah kedua orang tuanya terpaksa merantau jauh ke luar kota untuk mencari nafkah, meninggalkan Siti dalam asuhan yang penuh keterbatasan.

Setiap hari adalah perjuangan melawan kekurangan. Makanan sederhana, pakaian seadanya, dan rumah yang jauh dari kata layak menjadi pemandangan sehari-hari Siti kecil. Ketiadaan orang tua di sisi, digantikan oleh kehangatan nenek, meski seringkali dibayangi rasa sepi dan lapar.

Impiannya untuk terus bersekolah harus kandas di tengah jalan. Keterbatasan biaya menjadi tembok tebal yang tak mampu ia rubuhkankan. Ia dipaksa berdamai dengan kenyataan pahit bahwa pendidikannya harus terhenti, sementara teman-temannya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.

Beranjak dewasa, Siti memutuskan menikah. Tak lama setelah itu, ia dan suaminya Rahmat, memilih jalur yang sama dengan orang tuanya merantau ke kota besar. Mereka berharap nasib bisa berubah di tanah orang, meskipun hanya bermodal tekad dan tenaga.

Selama sepuluh tahun di perantauan, hidup mereka tetaplah keras. Mereka menjalani berbagai pekerjaan serabutan, bertarung dengan mahalnya biaya hidup, sambil terus menyimpan harapan untuk masa depan yang lebih cerah. Namun, takdir berkata lain.

Musibah tak terduga menghantam. Pak Rahmat jatuh sakit parah, sebuah kondisi yang membutuhkan biaya pengobatan dan perawatan intensif. Tabungan hasil kerja keras mereka habis tak tersisa.

Dengan berat hati dan dorongan dari orang tua Pak Rahmat, pasangan ini akhirnya dipaksa pulang kampung. Mereka kembali ke desa dalam kondisi terpuruk, tanpa uang, tanpa pekerjaan, dan dengan beban kesehatan Pak Rahmat yang harus dipulihkan.

Siti merasa dunianya runtuh. Ia harus memulai kembali dari nol di desa yang sama, dengan beban yang jauh lebih besar. Rasa putus asa sempat menggelayutinya, seolah pintu kesempatan sudah tertutup rapat.

Namun, di tengah keputusasaan itu, sebuah titik terang muncul. Siti bertemu dengan seorang tokoh desa yang dihormati, seorang yang dikenal bijaksana dan sangat inspiratif. Tokoh ini melihat potensi besar dalam diri Siti dan mendengar kisah perjuangannya.

“Ilmu tidak mengenal usia, Nak. Selama ada napas, selalu ada waktu untuk belajar. Jangan jadikan keterbatasan sebagai alasan, jadikan ia sebagai motivasi,” demikian petuah yang diucapkan tokoh tersebut, yang seketika membangkitkan kembali bara semangat Siti.

Petuah tersebut menusuk relung hati Siti. Ia teringat kembali pada mimpinya yang terkubur, yaitu menjadi seorang guru. Dengan tekad yang membaja, Siti memutuskan: ia harus melanjutkan pendidikannya yang terputus, hingga meraih gelar sarjana.

Keputusan itu tentu disambut dengan tantangan finansial yang besar. Untuk membayar biaya kuliah dan kebutuhan sehari-hari, Siti membuka usaha kecil-kecilan. Setiap pagi, sebelum berangkat kuliah, ia berjualan aneka gorengan di pasar desa.

Suaminya, Pak Rahmat, yang perlahan pulih dari sakit, juga berjuang keras menopang mimpi sang istri. Ia kembali melaut, bekerja sebagai nelayan tradisional, mempertaruhkan diri melawan ombak untuk membawa pulang rezeki.

Dapur rumah mereka menjadi saksi bisu perjuangan itu, Siti belajar sambil menunggu adonan gorengan matang, sementara Pak Rahmat kembali dari laut dengan wajah lelah, namun membawa harapan di mata. Setiap rupiah dari hasil menjual ikan dan gorengan dialokasikan untuk biaya pendidikan Siti.

Tahun-tahun perkuliahan dihabiskan Siti dalam perpaduan antara bau amis ikan, minyak goreng, dan aroma buku-buku. Ia belajar di malam hari setelah selesai menghitung hasil jualan, berjuang menyelesaikan tugas di tengah keterbatasan sarana.

Perjuangan yang panjang dan melelahkan itu akhirnya membuahkan hasil. Siti berhasil menyelesaikan studinya dan meraih gelar sarjana pendidikan. Hari wisudanya menjadi momen terindah, yang dirayakan dengan air mata haru dan bangga oleh nenek, suami, dan tokoh inspiratif yang telah memberinya semangat.

Tidak berhenti sampai di situ, dengan modal ijazah dan pengalaman hidup yang kaya, Siti mendedikasikan dirinya pada dunia pendidikan. Ia bertekad, tidak ada anak di desanya yang bernasib sepertinya.

Berkat ketekunan dan pengabdiannya yang tulus, Siti akhirnya berhasil meraih impian tertinggi, diangkat menjadi Guru PNS di sebuah sekolah negeri. Tak lama kemudian, ia juga berhasil mendapatkan Sertifikasi Guru, sebuah pengakuan atas profesionalitasnya.

Kisah Siti Rahmawati kini menjadi legenda di kampungnya. Ia membuktikan bahwa kekurangan di masa lalu, termasuk perpisahan orang tua, kesulitan finansial, dan keterbatasan pendidikan, bukanlah akhir dari segalanya.

Sebaliknya, semua itu adalah pelajaran berharga yang membentuk dirinya menjadi seorang guru yang berempati, kuat, dan inspiratif. Kisahnya adalah pengingat abadi bagi generasi muda: dengan tekad dan tangan emas suami nelayan serta hasil jualan gorengan, mimpi setinggi sarjana PNS bisa dicapai. (Muhammad Akmal)

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news