Anggota MPO PB IKA PMII Idrus Marham (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Kisruh internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memanas setelah beredarnya Risalah Rapat Harian Syuriah PBNU yang meminta Ketua Umum PBNU, K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), mengundurkan diri dalam waktu tiga hari.
Risalah bertanggal 20 November 2025 itu, ditandatangani langsung Rais Aam PBNU, K.H. Miftachul Akhyar, beserta Wakil Rais Aam.
Isu tersebut dengan cepat memantik gejolak di internal jam’iyah, memperlihatkan perbedaan sikap yang kian melebar.
Namun Gus Yahya menegaskan tidak akan mundur.
“Saya sama sekali tidak terbesit pikiran untuk mundur. Saya mendapat amanah dari muktamar untuk lima tahun dan akan saya jalani sampai selesai,” ujarnya di Surabaya, Minggu (23/11).
Ia juga menyatakan belum menerima surat fisik atas risalah tersebut serta mempertanyakan keabsahan dokumen yang beredar karena menggunakan tanda tangan manual, bukan digital.
Dalam pertemuan tertutup dengan para Ketua PWNU se-Indonesia, Gus Yahya memaparkan persoalan secara terbuka dan menyerahkan sepenuhnya kepada PWNU untuk bersikap.
Ia menyebut beberapa ketua PWNU menolak desakan agar dirinya mundur. Meski begitu, laporan media mencatat banyak pengurus wilayah tidak hadir, mengindikasikan ketidaksatuan sikap di akar struktur NU.
Di tengah memuncaknya polemik internal NU, Anggota MPO PB IKA PMII Idrus Marham tampil lantang menyuarakan kegelisahan banyak kalangan.
Ia mengingatkan bahwa gejolak saat ini bukan semata tentang figur, melainkan sinyal bahwa NU sedang menjauh dari nilai ‘kepemilikan bersama’ yang menjadi identitas jam’iyah sejak awal berdiri.
“NU ini milik rakyat, milik warga NU, bukan milik satu kelompok kecil,” tegas Idrus melalui keterangannya, Selasa (25/11).
Ia mengkritik keras munculnya pendekatan kekuasaan dalam dinamika PBNU.
Menurutnya, jam’iyah sebesar NU tidak boleh menjadi zona perebutan kekuasaan bagi segelintir elit, sebab hal itu berpotensi mengikis marwah organisasi yang selama ini berdiri di atas musyawarah, transparansi, dan pengabdian.
Untuk memperkuat pesannya, Idrus menyinggung sejarah. Ia mengingatkan kembali nama-nama besar yang membangun NU dari pesantren, akar rumput, dan kolektivitas umat. Para muassis seperti K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Bisri Syansuri, K.H. Ridwan, K.H. Nawawi, hingga K.H.R. Asnawi dan generasi awal kepengurusan PBNU pada 1926 dengan sosok seperti K.H. Abdul Wahab Chasbullah dan K.H. Abdul Chalim adalah figur yang mengabdikan hidupnya untuk umat, bukan untuk kepentingan kelompok.
“Warisan etis para pendiri NU adalah cermin untuk menyikapi dinamika hari ini. Mendegradasi nilai-nilai keumatan dan kebangsaan yang mereka bangun adalah dosa besar,” tegas Idrus.
Ia menilai bahwa jika perbedaan yang muncul hanyalah persoalan kepentingan, bukan gagasan, maka NU sedang diarahkan pada hal yang keliru dan bertentangan dengan khittah.
Idrus mengingatkan bahwa NU berdiri di atas dua fondasi, umat dan bangsa. Di luar itu, katanya, hanyalah percikan yang tak boleh menggeser orientasi perjuangan. Ketika kepentingan lain masuk dan menguasai ruang gerak organisasi, maka yang terancam bukan hanya marwah jam’iyah, tetapi juga kepercayaan masyarakat yang selama ini menempatkan NU sebagai rumah besar yang teduh dan meneduhkan.
Ia menyerukan agar penyelesaian konflik dilakukan secara kekeluargaan, bahkan bila perlu melalui dialog para kiai sepuh dan tokoh moral agar lahir solusi yang adil dan berkelanjutan.
“NU harus kembali pada khittah menjaga tradisi, meneguhkan akhlak, dan menjadi penuntun moral bagi kehidupan keumatan dan kebangsaan,” ujarnya.
Menurut Idrus, krisis ini seharusnya menjadi momentum introspeksi bagi NU untuk memperkuat kembali jati dirinya sebagai organisasi sosial-keagamaan yang berdiri di atas nilai moral, bukan panggung politik elite.
“Tidak cukup hanya klarifikasi internal. NU perlu langkah nyata menuju rekonsiliasi dan transparansi agar tetap menjadi rumah besar umat, bukan arena manuver kekuasaan,” pungkasnya.


















































