Pembukaan Prolog Festival (Dok: KabarMakassar).KabarMakassar.com — Upaya merekam ulang jejak panjang perjalanan musik lokal Makassar kini menemukan ruangnya. Dinas Kebudayaan Kota Makassar bersama komunitas kreatif Prolog Ecosystem membuka Prolog Festival melalui ‘Pameran Arsip Skena’ di Museum Kota Makassar, Sabtu (25/10).
Pameran ini menjadi pembuka dari rangkaian kegiatan Prolog Festival yang berlangsung selama tujuh hari, 25–31 Oktober 2025, dan terbuka gratis untuk umum setiap pukul 10.00–21.00 WITA. Selain pameran, agenda festival juga menghadirkan konser lintas genre, tur sejarah musik, hingga program edukatif anak-anak di sejumlah titik, termasuk Pantai Akarena.
Sekretaris Dinas Kebudayaan Kota Makassar, Syahruddin, bersama Kepala UPT Museum Kota Makassar Andi Nurul Salsabilah, membuka secara resmi kegiatan ini. Dalam sambutannya, mereka menekankan pentingnya pelestarian dan pengarsipan sejarah musik lokal sebagai bagian dari identitas budaya kota.
“Upaya seperti ini menunjukkan bahwa musik bukan hanya hiburan, tapi juga warisan dan ingatan kolektif yang harus dirawat. Museum Kota menjadi saksi bagaimana karya dan kenangan masyarakat Makassar dibingkai kembali dalam konteks kebudayaan,” ujar Syahruddin.
Pameran yang dikurasi oleh tim Celebes Vintage Gallery dan Tron Media menampilkan berbagai arsip bersejarah yang jarang diakses publik. Melalui benda, teks, foto, video, dan rekaman suara, pengunjung diajak menelusuri warisan musik Makassar dari masa ke masa dari lagu legendaris Anging Mammiri dan Ati Raja hingga artefak yang menandai lahirnya industri musik di luar Pulau Jawa.
Salah satu koleksi yang menarik perhatian adalah piringan hitam pertama yang diproduksi oleh seniman Makassar, sebuah penanda penting dalam sejarah rekaman nasional. Selain itu, terdapat pula arsip koran pertama yang terbit di Makassar, berbagai instrumen musik langka, serta dokumentasi kolaborasi antara pemerintah dan seniman lokal dalam membangun peradaban kota lewat musik.
Sementara itu, Kurator sekaligus perwakilan Prolog Ecosystem, Abdi Karya, menyebut pameran ini bukan sekadar ruang apresiasi seni, tetapi juga wadah edukasi dan refleksi sosial.
“Musik di Makassar bukan hanya soal bunyi. Ia adalah denyut nadi budaya, medium komunikasi, dan ruang perjumpaan lintas generasi. Melalui arsip ini, kita ingin membuka kembali memori kolektif warga dan merayakan ingatan yang nyaris terlupakan,” ujarnya.
Menurut Abdi, pameran ini lahir dari semangat kolaborasi antara pemerintah dan warga untuk memfasilitasi aspirasi, inspirasi, dan kreativitas.
“Lewat kerja sama ini, kita belajar bahwa pelestarian budaya bukan hanya tanggung jawab negara, tapi juga warga kota yang hidup di dalamnya,” tambahnya.
Selain pameran, Prolog Festival juga menghadirkan sejumlah agenda tematik, di antaranya ‘Jokka-Jokka Musik Kota’ pada 26 Oktober — tur jalan kaki menyusuri sejarah musik di kawasan Jalan Hoenggi, Pecinan, dan Jalan Sulawesi. Kemudian ‘Juzz for Kids’ pada 27 Oktober, sebuah program edukatif untuk memperkenalkan musik sebagai ekspresi budaya kepada anak-anak.
Puncak acara akan digelar 28–31 Oktober melalui konser musik lintas genre di berbagai titik kota, termasuk Pantai Akarena, sebagai bentuk perayaan keterbukaan dan keberagaman musik Makassar.
Dengan semangat kolaboratif antara pemerintah dan komunitas, Prolog Festival diharapkan menjadi ruang berkelanjutan bagi pelestarian sejarah dan penguatan ekosistem musik di Makassar.
“Pameran ini adalah ruang dialog antara warga dan pemerintahnya lewat seni. Kita sedang menulis ulang sejarah dengan cara yang lebih hidup melalui nada, arsip, dan ingatan bersama,” tutup Abdi Karya


















































