DPP Appi Bantah Tudingan Pengadaan Seragam Gratis Tak Sesuai Prosedur

1 month ago 23

KabarMakassar.com — Program seragam sekolah gratis Pemerintah Kota Makassar kembali menjadi sorotan setelah muncul tudingan dari organisasi masyarakat (ormas) RESOPA yang menilai proses pengadaan seragam tidak sesuai prosedur.

Merespons hal tersebut, Dewan Pimpinan Pusat Angkatan Pemersatu Pemuda Indonesia (DPP APPI) angkat bicara dan membantah keras tudingan tersebut.

Ketua Bidang Pendidikan dan Industri Kreatif DPP APPI, Fadel Sofyan, menyebut tudingan yang disampaikan Ketua Umum RESOPA tidak berdasar dan menyesatkan opini publik. Ia menegaskan bahwa seluruh tahapan pengadaan seragam telah dilakukan secara resmi dan terukur.

“Kami heran dengan pernyataan tersebut. Entah apa dan bagaimana cara berpikirnya. Mana ada seragam yang dibeli dari luar daerah Makassar. Kalau memang yakin, silakan cari dan buktikan datanya,” tegas Fadel, Jumat (1/08).

Menurut Fadel, pelaksanaan pengadaan dilakukan melalui sistem yang telah ditetapkan pemerintah, mulai dari pencatatan pada e-katalog nasional, proses seleksi oleh Bagian Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) Pemkot Makassar, hingga pelaksanaan kontrak dan distribusi oleh Dinas Pendidikan.

Ia menjelaskan bahwa Pemkot Makassar menerapkan skema kontrak payung konsolidasi, bukan mekanisme konvensional dalam menentukan penyedia seragam. Hasil seleksi tersebut menghasilkan 29 penyedia resmi, yang sebagian besar merupakan pelaku UMKM lokal di Kota Makassar.

“Setelah kontrak ditetapkan, ke-29 penyedia itu diserahkan ke Dinas Pendidikan untuk negosiasi lebih lanjut. Bahkan kalaupun ada penyedia dari luar Makassar dalam daftar awal, bukan berarti mereka otomatis dipakai. Justru banyak dari mereka gugur karena tak memenuhi kriteria,” jelasnya.

Fadel menegaskan, program seragam gratis tidak dijalankan asal tunjuk atau tanpa mekanisme pengawasan. Sebaliknya, program tersebut merupakan bentuk nyata kepatuhan pemerintah terhadap regulasi sekaligus wujud akuntabilitas anggaran.

“Sayangnya, masih ada pihak-pihak yang menuding tanpa memahami prosedur. Padahal, justru kepatuhan pada regulasi inilah yang menjadi dasar kuat dalam menjalankan program ini,” ujarnya.

Menanggapi isu pengadaan seragam dari Pasar Butung yang diduga bukan UMKM binaan, Fadel menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran oleh pihak penyedia dan telah ditindak tegas oleh Dinas Pendidikan. Ia memastikan bahwa kontrak penyedia tersebut telah diputus dan barang yang dikirim dikembalikan.

“Itu murni kesalahan penyedia. Barangnya sudah dikembalikan. Kadis dan Kabid juga sudah ambil tindakan. Jangan seolah-olah itu bagian dari sistem resmi. Bahkan suplai dari penyedia itu sudah dihentikan,” tegasnya.

Fadel juga menyayangkan jika kritik terhadap program justru diarahkan ke niat baik pemerintah, sementara praktik nakal di lapangan seperti jual beli seragam oleh pihak sekolah tidak disentuh.

“Kalau memang peduli, harusnya RESOPA kritisi sekolah-sekolah yang masih nakal dan menjual seragam. Itu jelas-jelas menyalahi kebijakan Wali Kota,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa program ini sejatinya sangat membantu masyarakat, khususnya keluarga kurang mampu, dalam mengurangi beban biaya pendidikan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

“Bayangkan berapa banyak orang tua yang bisa mengalihkan biaya seragam ke kebutuhan lain. Ini langkah nyata dalam pemerataan pendidikan. Harusnya kita dukung, bukan malah menyebarkan prasangka buruk,” katanya.

Fadel juga mengingatkan agar opini publik tidak dikacaukan dengan isu liar yang tidak berdasar hukum. Ia menyebut sejauh ini belum ada hasil audit dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) maupun Aparat Penegak Hukum (APH) yang menyatakan adanya kerugian negara dalam program ini.

“Kalau belum ada audit resmi yang menyatakan ada pelanggaran, jangan ganggu kerja baik pemerintah. Mari hargai niat baik dan hentikan ‘Piti kana-kanai (omong kosong)’,” tutupnya.

Sebelumnya, Ketua Umum Resopa, Syarifuddin Borahima, secara terbuka menyampaikan bahwa pihaknya menerima banyak keluhan dari pelaku UMKM, khususnya penjahit yang tergabung dalam kelompok penerima kerja jahit seragam sekolah.

Menurutnya, sebagian besar mereka justru tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengadaan.

“Kami ditelepon langsung oleh para penjahit yang sudah bertahun-tahun berjualan di Pasar Butung. Mereka mengaku hanya diminta menggunting atau mengukur. Seragamnya sudah jadi duluan. Artinya apa? Ini bukan pemberdayaan, tapi hanya formalitas,” tegas Syarifuddin.

Syarifuddin menyayangkan inkonsistensi antara aturan dan praktik di lapangan. Mengacu pada Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022, seragam SD dan SMP yang ditanggung negara adalah seragam putih-merah untuk SD dan putih-biru untuk SMP.

Namun di sekolah, siswa diwajibkan memakai hingga lima jenis seragam berbeda, seperti pramuka, olahraga, batik, dan adat.

“Yang ditanggung pemerintah hanya satu stel. Sementara siswa tetap diminta memakai seragam lain selama seminggu. Ini yang membingungkan dan memberatkan orang tua,” katanya.

Sementara itu, proses awal program disebut melibatkan sekitar 50 penjahit per kecamatan. Jika dikalikan dengan 15 kecamatan, ada sekitar 750 pelaku UMKM yang seharusnya dilibatkan.

Namun hasil akhir hanya menunjukkan 32 pemenang pengadaan, di mana menurut Syarifuddin, 29 di antaranya tidak mendapatkan pekerjaan jahit sama sekali.

“Payung hukum yang dikeluarkan oleh Pemkot menyebut 32 UMKM. Tapi di lapangan, sebagian besar tidak diberi pekerjaan. Seragamnya justru diborong dari Pasar Butung. Ada dugaan label toko dicabut sebelum diserahkan ke siswa,” tambahnya.

Anggaran untuk seragam sekolah juga menjadi sorotan. Berdasarkan dokumen yang disebutkan, seragam SMP dianggarkan sebesar Rp152.000 per stel, sementara untuk SD sebesar Rp143.000.

Namun fakta di lapangan menunjukkan harga pasar seragam di Pasar Butung hanya berkisar antara Rp70.000–Rp80.000.

“Kalau selisihnya sampai setengah harga, ke mana sisa anggarannya? Ini yang harus dijawab Dinas Pendidikan,” kata Syarifuddin.

Ia juga mempertanyakan keterlibatan pihak luar dalam proses tender. Disebutkan ada peserta pengadaan yang berasal dari Bandung dan Yogyakarta, padahal semangat awal program ini adalah untuk membangkitkan ekonomi UMKM lokal di Kota Makassar.

“Ada dua dari Bandung dan satu dari Jogja. Kalau seperti ini, bagaimana nasib pelaku usaha kecil kita yang berharap diberdayakan?” geramnya.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news