Ilustrasi Gedung DPR RI, (Dok: Kabar Makassar)KabarMakassar.com — Kritik tajam kembali dialamatkan kepada pemerintah terkait keterlambatan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).
Dua legislator lintas fraksi di DPR RI, Ratna Juwita Sari dari PKB dan Haji Jalal Abdul Nasir dari PKS, kompak menilai bahwa kelambanan pemerintah telah menciptakan ketidakpastian hukum dan menghambat pelaksanaan undang-undang strategis tersebut.
Anggota Komisi XII DPR RI Ratna Juwita Sari, menegaskan bahwa pemerintah sudah melanggar amanat Pasal 174 Ayat (1) UU Minerba yang mengatur seluruh peraturan pelaksanaan harus diterbitkan paling lambat enam bulan setelah undang-undang diundangkan.
UU tersebut telah sah sejak 19 Maret 2025, yang berarti batas waktu enam bulan telah terlampaui pada September lalu.
“Artinya, sampai hari ini pemerintah sudah melewati tenggat yang ditetapkan undang-undang. Ini bentuk kelalaian yang tidak boleh dibiarkan,” ujar Ratna, Minggu (05/10).
Politisi PKB itu menilai keterlambatan tersebut bukan sekadar masalah administratif, melainkan berpotensi menghambat pelaksanaan UU Minerba secara menyeluruh. Padahal, sektor minerba merupakan tulang punggung perekonomian nasional sekaligus instrumen penting bagi kemandirian bangsa.
“Indonesia kaya akan sumber daya alam, dan UU Minerba lahir untuk memastikan pengelolaannya berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan asing. Tanpa aturan pelaksana, cita-cita kemandirian dan kedaulatan bangsa akan sulit diwujudkan,” tegas Bendahara Umum DPP Perempuan Bangsa itu.
Ratna juga mengingatkan bahwa banyak pasal penting dalam UU Minerba, seperti penguatan peran pemerintah daerah, pengawasan eksploitasi tambang, hingga pemberdayaan masyarakat sekitar tambang, tidak dapat dijalankan tanpa PP sebagai panduan teknis. Ia menilai, situasi ini berisiko menimbulkan kekosongan hukum dan potensi penyimpangan di lapangan.
“Pemerintah tidak boleh mengabaikan urgensi ini. Minerba bukan sekadar komoditas ekonomi, tapi fondasi kedaulatan bangsa. Dengan pengelolaan yang tepat, sektor ini bisa menjadi motor kemandirian nasional sekaligus benteng Indonesia dari ketergantungan asing,” tambah Ratna.
Nada serupa datang dari anggota Komisi XII DPR RI Fraksi PKS, Haji Jalal Abdul Nasir. Ia menilai keterlambatan penerbitan PP Minerba menimbulkan ketidakpastian hukum dan kebingungan di kalangan pelaku usaha, terutama koperasi, BUMD, serta masyarakat di sekitar wilayah pertambangan.
“Keterlambatan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan menghambat implementasi kebijakan strategis yang seharusnya berpihak kepada rakyat kecil, koperasi, dan BUMD sebagaimana diamanatkan UU Minerba,” tegasnya.
Menurutnya, PP Minerba adalah panduan teknis yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan. Tanpanya, pasal-pasal penting seperti pemberdayaan masyarakat lokal, penataan izin tambang rakyat, serta pengawasan lingkungan tidak bisa dijalankan secara efektif.
“Tanpa aturan pelaksana, banyak pasal hanya menjadi teks tanpa makna. Ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antarinstansi dan bahkan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan,” tegasnya.
Jalal menilai, pemerintah seharusnya menempatkan penyusunan PP Minerba sebagai prioritas nasional, mengingat dampaknya yang sangat besar bagi perekonomian daerah penghasil tambang, investasi nasional, hingga perlindungan terhadap masyarakat adat.
“Saya menyerukan agar penyusunan PP dilakukan secara transparan dan partisipatif, melibatkan pemerintah daerah, akademisi, asosiasi pertambangan, hingga masyarakat adat. Jangan sampai PP yang lahir justru mengerdilkan semangat keadilan sosial dalam UU Minerba,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar aturan turunan tersebut benar-benar mengakomodasi peran UMKM, koperasi, dan organisasi masyarakat keagamaan, sesuai dengan amanat pasal-pasal dalam UU Minerba hasil revisi.
“Jangan sampai semangat memperkuat ekonomi rakyat yang terkandung dalam undang-undang ini justru hilang hanya karena pemerintah lamban menindaklanjutinya dengan PP,” pungkas Jalal.
Sebelumnya, DPR RI telah mengesahkan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara melalui rapat paripurna pada 18 Februari 2025.
Revisi ini disebut sebagai upaya untuk menjawab tantangan baru dalam tata kelola pertambangan nasional, seperti kepastian hukum, peningkatan nilai tambah, dan keberlanjutan lingkungan. UU Minerba hasil revisi juga diharapkan memperkuat peran pemerintah daerah, memberi peluang lebih besar kepada BUMD dan koperasi lokal, serta memastikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar tambang.
Namun, tanpa adanya peraturan turunan yang jelas, implementasi undang-undang tersebut berisiko stagnan. Keterlambatan penerbitan PP tidak hanya memperlambat investasi, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antara pusat dan daerah.

















































