DPR Ungkap Perputaran Ekonomi Film Capai Rp3,2 Triliun, Tapi Dikuasai Kelompok

2 weeks ago 13

KabarMakassar.com — Komisi VII DPR RI menyoroti ketimpangan serius dalam industri perfilman nasional yang dinilai semakin terkonsentrasi pada segelintir pelaku besar.

DPR mengungkap adanya dugaan praktik monopoli yang merambah dari proses produksi film hingga distribusi dan kepemilikan jaringan bioskop.

Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menyebut data yang diterima pihaknya menunjukkan bahwa sekitar 60 persen film nasional hanya dirilis di jaringan bioskop besar, sementara sebagian besar berasal dari dua hingga tiga rumah produksi (production house/PH) saja.

“Kami mendapatkan data bahwa 60 persen film nasional itu hanya tayang di bioskop-bioskop besar. Dan dari jumlah itu, 60 persennya lagi hanya berasal dari dua sampai tiga PH tertentu,” ungkap Lamhot, Kamis (06/11).

Menurutnya, struktur industri film nasional saat ini tidak sehat dan tidak inklusif, karena kesempatan bagi dong PH kecil maupun sineas independen untuk menayangkan karyanya di layar lebar sangat terbatas. Padahal, data Kementerian Parekraf menunjukkan terdapat 496 bioskop dengan total 2.375 layar di seluruh Indonesia, yang seharusnya bisa memberikan ruang lebih besar bagi beragam karya film nasional.

“Kelompok tertentu menguasai 60 persen layar bioskop di Indonesia. Ini artinya, sudah terjadi monopoli dalam industri perfilman kita. Ini bukan asumsi, tapi data,” tegas Lamhot.

Lebih lanjut, Lamhot mengungkap bahwa persoalan utama dalam struktur industri film nasional adalah integrasi vertikal yang tidak terkendali. Beberapa pelaku bisnis disebut menguasai seluruh mata rantai industri, mulai dari produksi film, impor film luar negeri, hingga kepemilikan jaringan bioskop terbesar di Tanah Air.

“Kalau satu kelompok memiliki PH, sekaligus menjadi importir, dan pemilik bioskop, tentu mereka akan memprioritaskan film-film produksinya sendiri untuk tayang di layar lebar,” ujar Lamhot.

Praktik semacam ini, lanjutnya, menutup ruang kompetisi sehat dan menghambat pertumbuhan sineas baru di berbagai daerah. Banyak PH kecil, meski memiliki film berkualitas, kesulitan memperoleh slot tayang di bioskop karena dominasi jaringan besar yang hanya menayangkan film produksi internal.

Lamhot menilai hal ini bertolak belakang dengan semangat keberagaman dan pemerataan ekonomi kreatif yang diusung pemerintah.

“Kami ingin industri ini terbuka dan adil. Jangan sampai industri perfilman tumbuh tapi hanya dinikmati segelintir orang,” katanya.

Di sisi lain, DPR juga mengakui bahwa industri film nasional mencatat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat pascapandemi Covid-19. Pada tahun 2024, perputaran ekonomi sektor perfilman mencapai Rp3,2 triliun, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 15 persen per tahun sejak 2022.

Namun, Lamhot menegaskan bahwa angka tersebut tidak menggambarkan kesejahteraan yang merata bagi seluruh pelaku industri.

“Kenaikan ekonomi di sektor film ini hanya dikuasai oleh kelompok tertentu. Tidak terjadi pemerataan. Sementara sineas daerah dan PH kecil tidak mendapat bagian dari pertumbuhan ini,” ujarnya.

Lamhot pun meminta Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk turun tangan memperbaiki struktur industri perfilman agar tidak dikuasai oleh oligopoli. Ia menekankan pentingnya regulasi yang memastikan adanya porsi penayangan khusus bagi film independen dan produksi daerah di jaringan bioskop nasional.

Ia menilai saat ini diperlukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola industri film Indonesia, mulai dari transparansi penentuan slot tayang, pembatasan kepemilikan lintas sektor, hingga insentif bagi sineas daerah.

Mereka juga mendorong Kemenparekraf menyusun peta jalan kebijakan perfilman nasional yang memastikan adanya keadilan ekonomi bagi semua pelaku, bukan hanya bagi kelompok besar yang menguasai pasar.

“Film adalah bagian penting dari ekonomi kreatif nasional. Kalau industrinya hanya menguntungkan segelintir pihak, maka semangat keadilan ekonomi yang diusung pemerintah jadi tidak berarti,” pungkas Lamhot.

Sorotan serupa disampaikan oleh Anggota Komisi VII DPR RI, Yoyok Riyo Sudibyo, yang menilai ketimpangan distribusi film sudah terjadi bertahun-tahun.

Ia menyebut bahwa film-film dari rumah produksi besar mendominasi layar bioskop dan platform digital, sementara sineas daerah nyaris tak punya akses untuk memasarkan karya mereka.

“Indonesia ini kaya dengan kreativitas, tapi kenapa yang muncul di layar lebar itu-itu saja? Harus dibedah ini, Pak Menteri, kenapa PH-nya selalu itu-itu juga,” ujarnya.

Yoyok meminta agar pemerintah melalui Kemenparekraf tidak hanya menumbuhkan ekonomi kreatif di pusat, tetapi juga memberikan dukungan finansial dan pendampingan kepada pembuat film dari daerah-daerah.

“Biayai teman-teman di daerah yang punya kreativitas. Dampingi mereka sampai filmnya bisa masuk layar lebar. Jangan semua dikuasai kelompok yang sama,” tegasnya.

Ia juga memperingatkan agar ketimpangan ini tidak terus berlarut, karena dapat menimbulkan resistensi dari pelaku industri kecil yang merasa tersisih.

“Teman-teman sineas daerah sudah banyak yang frustrasi. Jangan sampai nanti mereka geruduk karena merasa tak punya tempat lagi di negeri sendiri,” pungkas Yoyok.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news