Ilustrasi Anak Alami Gangguan Mental. Dok. IstKabarMakassar.com — Angka gangguan kesehatan mental anak di Indonesia kini mencapai level mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), lebih dari dua juta anak tercatat mengalami gangguan kesehatan mental setara 10 persen dari 20 juta jiwa yang telah menjalani layanan pemeriksaan kesehatan jiwa gratis pemerintah.
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani, menyebut angka tersebut bukan sekadar catatan statistik, tetapi sinyal darurat sosial yang menuntut tindakan cepat dan menyeluruh dari pemerintah serta masyarakat.
“Angka ini bukan sekadar data statistik, tetapi sinyal darurat sosial yang harus kita tanggapi bersama. Anak-anak yang mengalami tekanan mental adalah generasi masa depan bangsa. Jika tidak segera ditangani, kita berisiko kehilangan potensi besar mereka,” ujar Netty, Jumat (31/10).
Kementerian Kesehatan mencatat bahwa dari total populasi anak Indonesia, sekitar 1 dari 10 anak menunjukkan gejala gangguan emosional dan perilaku.
Layanan pemeriksaan dan konseling daring yang diluncurkan pemerintah sejak 2023 memang berhasil menjangkau jutaan masyarakat, namun akses internet yang tidak merata membuat layanan tersebut belum optimal di daerah terpencil.
Netty mengapresiasi keterbukaan data dan inisiatif layanan daring Kemenkes, namun ia menegaskan pentingnya langkah lanjutan berupa pemerataan layanan kesehatan mental di fasilitas publik dasar seperti sekolah, puskesmas, dan komunitas lokal.
“Layanan daring sangat membantu, tetapi belum semua anak memiliki akses internet. Pemerintah perlu memperkuat layanan konseling di sekolah, puskesmas, dan komunitas agar lebih inklusif,” tegas politisi PKS itu.
Selain pemerataan layanan, Netty meminta Kemenkes menjelaskan secara rinci metodologi dan cakupan data agar publik memahami konteks angka dua juta anak tersebut secara utuh.
“Transparansi data akan membantu publik melihat persoalan ini dengan lebih tepat. Penjelasan tentang metode, cakupan, dan validitas data sangat penting, bukan untuk meragukan hasil, tetapi agar kita bisa bersama-sama menentukan langkah intervensi yang paling efektif,” ujarnya.
Menurut Netty, keterbukaan data dan kolaborasi antarinstansi menjadi kunci untuk mengatasi lonjakan masalah kesehatan mental di kalangan anak dan remaja.
Data global dari WHO menunjukkan satu dari tujuh remaja di dunia berisiko mengalami gangguan mental, dengan kecemasan dan depresi sebagai kasus paling umum.
Ia menambahkan bahwa selain intervensi medis, pemerintah juga perlu memperkuat ketahanan keluarga sebagai benteng pertama kesehatan mental anak.
“Anak-anak sekarang hidup di era tekanan digital dan ekspektasi sosial yang tinggi. Oleh sebab itu, kita perlu membangun budaya komunikasi yang hangat di keluarga dan sekolah agar anak merasa aman untuk bercerita dan meminta bantuan,” jelasnya.
Netty menekankan bahwa penguatan ketahanan keluarga harus dilakukan lintas sektor tidak hanya oleh Kemenkes, tetapi juga Kementerian Pendidikan, Kementerian Sosial, dan lembaga keagamaan.
“Keluarga yang memiliki ketahanan fisik, ekonomi, sosial budaya, dan psikologis spiritual tentu menjadi bagian dari solusi gangguan kesehatan mental pada anak dan remaja,” tutupnya.

















































