
KabarMakassar.com – Fenomena memilukan tentang anak yang membuang orang tuanya yang telah lanjut usia (lansia) ke panti jompo kembali mencuat dan menghebohkan media sosial.
Peristiwa ini mendapat sorotan langsung dari Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Dr. H. Wihaji, dalam puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang dipusatkan di Lapangan Karebosi, Makassar, Senin (28/07).
Menteri Wihaji tidak menampik adanya kasus tersebut di Indonesia. Ia menyebut hal serupa juga terjadi di negara-negara maju dan merupakan tantangan besar yang harus segera direspons negara, terutama pemerintah daerah.
“Setuju tidak setuju, ini fakta. Kasus anak membuang orang tuanya yang lansia memang terjadi. Ini bukan hanya soal empati, tapi tanggung jawab sosial dan negara,” tegasnya kepada wartawan usai menghadiri acara Harganas.
Wihaji mengungkapkan bahwa saat ini jumlah lansia di Indonesia mencapai 11,7 persen dari total populasi. Ia memprediksi angka tersebut akan melonjak menjadi 20 persen pada tahun 2045.
“Itu artinya, jumlah lansia di Indonesia akan semakin banyak. Negara tidak boleh tinggal diam. Pemerintah harus hadir melalui kebijakan konkret, salah satunya dengan program Lansia Berdaya,” ujarnya.
Program Lansia Berdaya, lanjut Wihaji, dirancang sebagai ruang partisipatif yang memungkinkan para lansia tetap aktif, memiliki kegiatan harian, serta menjalin interaksi sosial yang sehat di usia senja.
“Mereka tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh teman, butuh aktivitas, agar tidak merasa kesepian dan terisolasi,” kata dia.
Salah satu terobosan dari kementeriannya adalah program Sekolah Lansia. Namun, Wihaji menegaskan bahwa konsep sekolah tersebut bukanlah pendidikan formal, melainkan kegiatan pengembangan spiritual dan sosial.
“Kita sebut Sekolah Lansia S1, S2, dan S3, tapi bukan sekolah serius. Isinya bisa pengajian untuk yang muslim, atau kegiatan spiritual lainnya untuk yang non-muslim. Intinya memberikan makna dalam pertemuan dan kegiatan mereka,” jelasnya.
Di samping itu, ada pula program healing untuk lansia. Kegiatan ini mencakup aktivitas ringan seperti jalan-jalan, rekreasi bersama, hingga kegiatan seni dan olahraga ringan.
“Healing bukan hanya untuk anak muda. Lansia juga butuh healing, agar tetap semangat menjalani hidup,” kata Wihaji.
Meski demikian, ia mengakui bahwa tidak semua lansia dibuang begitu saja oleh anak-anak mereka. Beberapa di antaranya justru memilih tinggal di panti jompo secara sukarela karena merasa kesepian dan membutuhkan teman bicara.
“Daripada mereka di rumah sendirian sementara anak-anak sudah bekerja dan sibuk, mereka memilih panti sebagai tempat untuk bersosialisasi,” tambahnya.
Namun apapun alasannya, Wihaji menekankan pentingnya peran negara dalam memberikan fasilitas yang memadai bagi para lansia.
“Negara tidak boleh lepas tangan. Pemerintah harus hadir, bukan hanya dengan panti jompo, tapi juga melalui pendekatan yang lebih manusiawi dan penuh empati,” tegasnya.
Isu lansia diabaikan atau ditelantarkan keluarga bukan sekadar masalah pribadi, tetapi sudah menjadi persoalan sosial yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor.
Wihaji berharap ke depan semakin banyak daerah yang mengembangkan program-program inovatif untuk lansia, agar mereka tidak hanya hidup lebih lama, tapi juga lebih bahagia dan bermakna.