Ilustrasi TPPO (dok. Ist)KabarMakassar.com — Kasus hilangnya Bilqis Ramadhany (4) menggegerkan warga Makassar setelah dilaporkan hilang saat menemani ayahnya berolahraga di Taman Pakui Sayang pada Minggu (2/11).
Bilqis lalu ditemukan di wilayah Jambi pada Sabtu (8/11) oleh tim Jatanras Polrestabes Makassar dan saat ini telah bersama keluarga, meski begitu memunculkan dugaan adanya praktik terorganisasi terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Di tengah spekulasi publik, Pemerhati Pekerja Imigran, Firman Hermanda, mengungkap sejumlah kelemahan sistemik yang menurutnya dapat dimanfaatkan jaringan pelaku terutama di bandara.
Apalagi anak empat tahun seperti Bilqis bisa melintasi hingga empat bandara tanpa terdeteksi.
Firman menilai bahwa kelolosan Bilqis di bandara tidak serta-merta menunjukkan keterlibatan sistem bandara secara langsung, tetapi lebih menggambarkan celah yang selama ini dibiarkan terbuka dalam perjalanan domestik.
Menurutnya, penerbangan dalam negeri secara umum tidak mewajibkan pemeriksaan identitas dan dokumen lengkap, sehingga anak yang bepergian hanya bergantung pada data tiket.
“Selama ini, kalau kita bawa anak untuk perjalanan domestik, yang penting ada tiket. Selesai. Tidak ada pemeriksaan identitas ataupun dokumen lain. Sistemnya memang longgar, saya juga begitu kalau bawa anak tidak ada periksa cuma liat tiket,” jelas Firman.
Ia menambahkan bahwa kondisi tersebut sudah menjadi praktik bertahun-tahun dan tidak menutup kemungkinan dimanfaatkan oleh pihak tertentu.
Namun, Firman juga mengingatkan adanya potensi oknum yang bisa saja bermain dalam proses pemeriksaan identitas di bandara. Menurutnya, proses check-in yang hanya memverifikasi identitas dasar membuka peluang manipulasi jika terdapat pemain internal.
“Saya tidak menuduh siapa-siapa, kondisi seperti ini memang rawan disusupi oknum yang memanfaatkan celah sistem,” ujarnya.
Selain menyoroti sistem transportasi udara, Firman juga menanggapi isu yang berkembang bahwa Bilqis ditemukan pada kelompok yang disebut suku ‘Jambi Dalam’ dan bahkan dikaitkan dengan Suku Anak Dalam. Menurutnya, narasi tersebut tidak masuk akal secara logika maupun antropologis.
“Suku Anak Dalam hidup dalam komunitas sangat sederhana. Mereka tidak memiliki kebutuhan atau kemampuan finansial untuk membeli anak, apalagi menggunakan mobil Pajero seperti yang disebutkan. Itu tidak masuk akal,” kata Firman.
Ia menduga keberadaan nama Suku Anak Dalam dalam kasus ini merupakan kedok untuk menutupi operasi jaringan lain yang lebih tersusun. Menurutnya, pola ancaman, permintaan tebusan hingga Rp100 juta, serta kemampuan memindahkan anak lintas daerah menunjukkan adanya sindikat terorganisasi.
Firman menegaskan bahwa praktik seperti ini bukan kejadian baru di Indonesia. Jaringan perdagangan orang umumnya memiliki struktur jelas mulai dari perekrut, operator lapangan, hingga bandar.
“Modus seperti ini sangat mirip sindikat TPPO pada umumnya. Mereka terstruktur, sistematis, dan masif,” ujarnya.
Ia meminta aparat penegak hukum untuk tidak berhenti pada pelaku lapangan dan narasi yang menggiring publik untuk mengaitkan kasus ini dengan komunitas adat.
“Yang berbahaya adalah jika label Suku Dalam hanya dijadikan tameng. Pemerintah harus melihat lebih dalam siapa aktor sebenarnya di balik kasus ini,” tegasnya.
Firman juga mengingatkan bahwa jaringan seperti ini bahkan bisa melibatkan pemain lintas daerah atau lintas negara, sehingga perlu investigasi menyeluruh. Ia menilai kasus Bilqis membuka dua isu besar sekaligus diantaranya lemahnya sistem keamanan perjalanan domestik dan potensi operasi sindikat yang memanfaatkan anak sebagai komoditas.
“Selama celah ini tetap ada, kasus serupa bisa terulang. Pemerintah harus serius, bukan hanya dalam penanganan kasus, tapi juga perbaikan sistem,” pungkasnya.


















































