
KabarMakassar.com – Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI menegaskan komitmennya menjaga integritas dan transparansi di parlemen dengan menghentikan seluruh hak jabatan anggota DPR yang berstatus non-aktif.
Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan, menyatakan pihaknya telah mengajukan permintaan resmi kepada Sekretariat Jenderal DPR RI dan Kementerian Keuangan untuk menghentikan pembayaran gaji, tunjangan, dan fasilitas yang melekat pada jabatan anggota DPR.
Kebijakan ini berlaku bagi dua legislator Fraksi PAN, yakni Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Satria Utama (Uya Kuya), yang saat ini tengah berstatus non-aktif.
“Fraksi PAN sudah meminta agar hak berupa gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang melekat pada jabatan anggota DPR RI dengan status non-aktif dihentikan selama status tersebut berlaku. Ini merupakan bentuk tanggung jawab Fraksi PAN dalam menjaga akuntabilitas dan kepercayaan publik,” tegas Putri dilansir dari laman Fraksi PAN DPR RI, Rabu (03/09).
Ia menambahkan, keputusan tersebut tidak hanya ditujukan untuk menjaga marwah DPR RI, tetapi juga memastikan penggunaan anggaran negara tetap sesuai aturan. Putri menekankan bahwa transparansi menjadi prinsip utama Fraksi PAN dalam menyikapi persoalan anggota non-aktif.
“Langkah ini adalah upaya kami agar kepercayaan publik tetap terjaga, sementara proses penanganan anggota DPR yang berstatus non-aktif berjalan adil, transparan, dan sesuai mekanisme resmi,” Pungkasnya.
Sebelumnya, Partai Politik ramai-ramai melakukannpenonaktifan kepada sejumlah anggota DPR RI yang memicu aksi demonstrasi di Indonesia.
Pertama, Partai NasDem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi DPR RI. Kemudian, menyusul Partai Amanat Nasional (PAN) juga mengambil langkah serupa terhadap Eko Patrio dan Uya Kuya, sementara Partai Golkar mencopot Adies Kadir dari jabatan Wakil Ketua DPR RI sekaligus menonaktifkannya sebagai anggota dewan.
Menanggapi fenomena ini, Komisioner Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad, menilai keputusan partai perlu dikaji lebih dalam.
Ia menegaskan, istilah ‘nonaktif’ tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3, sehingga secara konstitusional, para anggota DPR yang dinonaktifkan tetap memiliki hak penuh sebagai wakil rakyat.
“Partai politik lebih menggunakan istilah ‘nonaktifkan’, bukan mengganti. Artinya, kelima orang tersebut dapat diaktifkan kembali, bahkan secara konstitusi hak-hak mereka sebagai anggota DPR tetap ada dan tidak hilang,” ujar Saiful dalam keterangannya, Senin (01/09).
Menurutnya, praktik penonaktifan ini berpotensi membuka ruang kesewenangan elit partai. Jika recall dilakukan sepihak oleh partai, lanjut Saiful, hal itu bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi.
Ini justru akan menjadi pembenaran bagi partai untuk memecat anggota DPR/DPRD yang dianggap tidak sejalan. Kondisi ini jelas merusak nilai dan semangat demokrasi itu sendiri,” tegasnya.