Ahli dan Saksi Pemohon 139/PUU-XXIII/2025 saat memberikan keterangan dalam Sidang Perkara Nomor 139/PUU-XXIII/2025 (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Skema pembayaran dana pensiun kembali menjadi sorotan dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (17/11).
Para Pemohon Perkara Nomor 139/PUU-XXIII/2025, yang merupakan pekerja PT Freeport Indonesia, menghadirkan dua ahli dan dua saksi untuk memperkuat argumentasi bahwa Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK telah merugikan hak konstitusional mereka.
Pengamat jaminan sosial dan ketenagakerjaan Timboel Siregar menyampaikan kekhawatiran bahwa ketentuan pembayaran manfaat pensiun secara berkala dalam UU P2SK justru melemahkan perlindungan pekerja terhadap keamanan dana.
Ia mengingatkan sudah banyak program pensiun yang dikelola lembaga keuangan, baik DPPK maupun DPLK, yang gagal memenuhi kewajiban, seperti Dana Pensiun PTPN, Merpati, Kertas Kraft Aceh, Leces, hingga kasus Jiwasraya dan Bumiputera.
“Tidak ada yang menjamin apabila DPPK atau DPLK mengalami kesulitan atau bangkrut. Pekerja pada akhirnya menanggung risiko penuh,” tegas Timboel.
Ia menambahkan, pembayaran pensiun secara lumpsum memungkinkan pekerja merencanakan masa depan, termasuk membuka usaha setelah pensiun. Skema berkala dinilai tidak hanya menahan hak pekerja tetapi juga menghambat kontribusi ekonomi yang bisa muncul dari penggunaan dana pensiun secara utuh.
Timboel juga menyinggung ketidaksesuaian antara ketentuan dana pensiun dalam UU P2SK dengan praktik pembayaran kompensasi PHK yang secara hukum wajib dibayarkan sekaligus. Jika pembayaran pensiun dikaitkan dengan kompensasi PHK dan dilakukan bertahap, hal ini berpotensi menimbulkan pelaporan pidana kepada pengusaha sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan.
“Pembayaran bertahap ini justru akan memicu ketidakharmonisan hubungan industrial,” ujarnya.
Ahli hukum tata negara Maruarar Siahaan menyoroti adanya perbedaan tafsir yang sangat tajam antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Ketenagakerjaan terkait pembayaran manfaat pensiun. Ia menyebut disharmoni tersebut sebagai tanda lemahnya proses sinkronisasi dalam pembentukan UU P2SK.
“Kita bisa melihat adanya ego sektoral dalam pembahasan undang-undang. Sinkronisasi seharusnya menjadi proses yang konstan sebelum dan sesudah pembahasan di DPR,” ujar Maruarar.
Kemenkeu menegaskan pembayaran berkala adalah standar prudensial sistem pensiun modern. Sebaliknya, Kemenaker menyatakan hak-hak pekerja termasuk pesangon dan manfaat pensiun sejak dulu wajib dibayarkan secara tunai dan tidak dapat ditunda.
Perbedaan sudut pandang ini sebelumnya juga disinggung Hakim Konstitusi Saldi Isra, yang meminta pemerintah menjelaskan secara rinci perbedaan skema dana pensiun mandatory dan complimentary.
Para Pemohon merupakan peserta Dana Pensiun Freeport Indonesia yang seluruh iurannya ditanggung pemberi kerja. Berdasarkan ketentuan perusahaan, peserta tidak lagi berhak atas pesangon atau penghargaan masa kerja jika nilai dana pensiun yang dikumpulkan lebih besar daripada hak kompensasi yang dihitung.
Namun pasal-pasal dalam UU P2SK membatasi pencairan manfaat pensiun hanya maksimal 20% secara sekaligus, dan sisanya harus dibayarkan bertahap. Para Pemohon menilai ketentuan ini menghambat rencana mereka memulai usaha setelah pensiun, yang membutuhkan modal besar.
Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK bertentangan dengan UUD 1945 karena merugikan hak atas kepastian hukum yang adil serta hak atas penghidupan layak sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam petitum, mereka meminta MK memberikan tafsir baru terkait Pasal 161 ayat (2) dimaknai bahwa pembayaran manfaat pensiun dapat dilakukan berkala, tetapi jika peserta memilih pencairan sekaligus, maka harus dibayarkan sekaligus.
Tak hanya itu, di Pasal 164 ayat (2) dimaknai bahwa dana pensiun dapat memberikan opsi pembayaran 100% secara sekaligus, bukan hanya 20%.


















































