
KabarMakassar.com – Kantor Wilayah VI Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Makassar menaruh perhatian serius terhadap tingginya harga beras serta isu pencampuran beras subsidi (oplosan) yang terjadi di beberapa daerah.
Sebagai bagian dari upaya pengawasan, Plt. Kepala Kanwil VI KPPU Makassar, Hasiholan Pasaribu, melakukan inspeksi langsung ke kantor dan gudang Perum BULOG Cabang Bulukumba, Kamis (30/07).
Kunjungan ini diterima langsung oleh Kepala Cabang BULOG Bulukumba, Farid Nur, yang memaparkan kondisi stok, mekanisme distribusi, serta tantangan yang dihadapi BULOG dalam menjalankan program stabilisasi harga pangan di daerah.
Hasiholan menyampaikan bahwa KPPU sedang mengumpulkan data dan informasi terkait struktur pasar dan potensi pelanggaran dalam persaingan usaha di sektor pangan.
“Kunjungan ini kami lakukan sebagai langkah awal untuk mengidentifikasi apakah ada indikasi praktik usaha tidak sehat yang turut mendorong naiknya harga beras di lapangan,” ujar Hasiholan.
Hasiholan menyimpulkan bahwa ada tiga poin penting dari kunjungan ini yang akan menjadi bahan kajian KPPU. “Pertama, adanya indikasi praktik oplosan terhadap beras subsidi; kedua, lambatnya penyaluran beras SPHP akibat hambatan birokrasi; dan ketiga, sistem ijon yang menghambat penggilingan menyerap gabah petani,” urainya.
Menurutnya, ketiga faktor tersebut berpotensi menyebabkan distorsi pasar yang berdampak langsung terhadap harga dan akses pangan masyarakat. “Semua temuan ini akan kami laporkan ke pimpinan sebagai dasar untuk menentukan langkah lanjutan KPPU, sesuai dengan kewenangan kami dalam pengawasan persaingan usaha,” tutup Hasiholan.
Sementara itu, Kepala Cabang BULOG Bulukumba Farid Nur menegaskan bahwa stok beras di Gudang BULOG Bulukumba saat ini mencapai 50.000 ton, terdiri dari gabungan beras lokal dan sisa beras impor, dan diklaim cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa BULOG menjalankan dua skema utama dalam penyaluran beras: pertama melalui program bantuan pangan kepada keluarga penerima manfaat (KPM), dan kedua melalui beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) untuk pasar umum.
Namun, Farid mengungkapkan adanya hambatan administratif yang mengganggu kelancaran distribusi SPHP. “Penyaluran beras SPHP tidak bisa kami lakukan begitu saja tanpa rekomendasi dari Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Ketahanan Pangan. Tanpa permintaan resmi, kami tidak bisa bergerak,” jelasnya.
Beras SPHP sendiri merupakan beras subsidi yang dikemas dalam karung 5 kg dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp12.500 per kg dan pembelian dibatasi maksimal dua karung per orang. Saluran distribusinya meliputi pasar tradisional, koperasi desa, toko binaan pemda, hingga gerakan pangan murah.
Dalam pengawasan yang dilakukan sebelumnya, Satgas Pangan menemukan indikasi beras SPHP dioplos dengan beras berkualitas lebih rendah. Praktik ini dinilai sangat merugikan masyarakat dan berpotensi melanggar ketentuan distribusi pangan bersubsidi.
“Pencampuran beras SPHP sangat kami sesalkan. Ini jelas tidak dibenarkan karena SPHP adalah produk bersubsidi yang harus dijual sesuai aturan, tidak boleh dimanipulasi atau dikemas ulang sebagai produk komersial,” tegas Farid.
Selain itu, BULOG Bulukumba juga mengeluhkan kesulitan penggilingan mitra dalam menyerap gabah petani lokal. Penyebab utamanya adalah sistem ijon, di mana petani sudah terikat kontrak atau pinjaman dengan tengkulak sebelum masa panen tiba, sehingga gabah tidak bisa masuk ke skema pembelian BULOG.