KabarMakassar.com — Ratusan massa aksi yang tergabung dalam koalisi Hari Tani Nasional tahun 2025 melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, Jalan Urip Sumoharjo, Makassar pada Rabu (24/09).
Massa aksi yang terdiri dari mahasiswa, petani, nelayan dan masyarakat sipil menuntut pemerintah untuk segera mengembalikan kedaulatan agraria kepada rakyat, petani, nelayan, buruh dan masyarakat.
Salah satu massa aksi, Ikbal menegaskan bahwa negara harus bertanggung jawab atas berbagai letusan konflik agraria di berbagai wilayah di Indonesia khususnya Sulawesi Selatan.
Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) periode 2015-2024 sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta hektar, berdampak terhadap 1,8 juta keluarga.
Letusan konflik tersebut merupakan muara dari praktek-praktek perampasan tanah yang diduga terus dilanggengkan oleh Presiden Jokowi selama periode kepemimpinannya.
Pada periode yang sama, sedikitnya terjadi 2.842 kasus kriminalisasi, 1.054 kasus kekerasan, 88 orang tertembak dan 79 orang tewas di wilayah konflik agraria.
Sayangnya, situasi ini diduga justru terus diwariskan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran tanpa adanya evaluasi mendasar terhadap situasi krisis tersebut.
Menurut catatan KPA, tiga bulan pertama pemerintahan Asta Cita, sedikitnya terjadi 63 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 66.082 hektar dan berdampak terhadap 10.075 keluarga.
Di Sulawesi, berbagai konflik terus terjadi bersamaan dengan munculnya berbagai proyek strategis nasional ala Jokowi yang kemudian dilanjutkan dengan asta cita ala Prabowo.
Mulai dari terbitnya Perpres No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, yang masif dalam pelibatan TNI dan dapat disangkal melakukan perampasan terhadap tanah-tanah milik rakyat. Militerisasi pangan dengan berbagai kebijakan food estate, Konflik agaria di Sinjai, Bone, Luwu, Luwu Utara, Maros akibat pertambangan emas. Hingga Pengerahan dan intimidasi aparat terhadap warga Polongbangkeng Takalar.
“Perampasan tanah adalah bentuk kekerasan struktural yang nyata, yang telah memaksa ribuan perempuan kehilangan ruang hidup mereka. Melalui intimidasi, manipulasi hukum, penggusuran paksa, hingga pengerahan aparat bersenjata, ruang hidup perempuan dihancurkan atas nama pembangunan. Segala bentuk kekerasan ini dibungkus dalam narasi “legalitas” melalui mekanisme perizinan, proyek strategis nasional (PSN), atau dalih “kepentingan umum”,” ungkapnya.
Ia menjelaskan lebih jauh bahwa kasus-kasus seperti di PTPN 1 Regional 8 di Takalar, Makassar New Port dan berbagai wilayah lainnya menunjukkan bagaimana negara absen dalam melindungi warganya.
“Alih-alih hadir sebagai pelindung, negara justru memperkuat praktik militerisme agraria mengerahkan aparat untuk mengintimidasi, menggusur, bahkan menangkap rakyat yang mempertahankan tanahnya. Petani, aktivis lingkungan, dan terutama perempuan pembela hak atas tanah menjadi target utama kekerasan dan kriminalisasi. Suara rakyat yang menuntut keadilan dibungkam secara sistematis,” sambungnya
Selain itu, massa aksi menilai kebijakan-kebijakan seperti UU Cipta Kerja, UU ITE, serta pasal-pasal karet dalam KUHP digunakan untuk membungkam kritik, mengkriminalisasi protes, dan melemahkan gerakan rakyat, termasuk gerakan perempuan yang memperjuangkan keadilan ekologis dan agraria.
“Selama setahun terakhir, kita melihat tidak adanya pembahasan khusus mengenai reforma agraria, termasuk rapat kabinet yang diselenggarakan oleh Presiden Prabowo bersama para menterinya. Dengan demikian dapat disimpulkan Pemerintah gagal menjalankan RA dalam 10 bulan pertamanya,” sebutnya
Selanjutnya, masalah yang dialami rakyat tidak selesai pada mudahnya tanah mereka dirampas, kenaikan PBB di pedesaan kemudian menjadi momok baru bagi rakyat.
Kementerian Dalam Negeri mencatat setidaknya 104 daerah menaikkan PBB dengan 20 daerah menaikkan tarif hingga lebih dari 100 persen, termasuk di Jawa (Kabupaten Jombang, Kota Cirebon, Kota Solo, Kabupaten Semarang, Kabupaten Pati); Sulawesi Selatan (Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Bone); dan Bali (Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar).
Kenaikan PBB seringkali dianggap sebagai instrumen peningkatan penerimaan daerah, namun bisa menimbulkan beban tambahan bagi masyarakat desa yang pendapatannya relatif rendah dan tidak tetap. Sebab di Indonesia, pendapatan petani sangat bergantung pada musim panen dan harga pasar, biaya produksi dan beban pengeluaran keluara petani yang luput dari subsidi pemerintah.
Kenaikan PBB dianggap menambah beban keuangan keluarga petani sehingga pendapatan/keuntungan petani semakin berkurang. Akibatnya ke depan tanah lebih beresiko dibeli oleh tuan tanah atau pengusaha
Massa aksi koalisi HTN tahun 2025 mendesak negara harus membentuk badan penyelesaian konflik agraria dan pelaksana reforma agraria yang dipimpin langsung oleh presiden.
“Negara harus mendorong adanya RUU Reforma Agraria dan Dewan Reforma Agraria Nasional sesuai dengan mandat UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan Pasal 5 TAP MPR IX/2002 tentang Pembaruan Agraria dan SDA,” dikutip dari tuntutan massa aksi.
Massa aksi juga meminta pemerintah mencabut kebijakan untuk kepentingan investasi yang tidak berpihak kepada rakyat, termasuk mencabut UU Cipta Kerja karena melanggengkan konflik agraria, memperparah ketimpangan dan ketidakadilan serta merampas kedaulatan perempuan dan mewujudkan reforma agraria yang berkeadilan gender.


















































