Hutan dan Tradisi Masyarakat Adat Buntu Matabing dan Minjara yang Kian Tergerus

1 month ago 30
Hutan dan Tradisi Masyarakat Adat Buntu Matabing dan Minjara yang Kian TergerusKondisi Bukit di Buntu Matabing. Dok. Andini

KabarMakassar.com — Bukit Buntu Matabing tampak kering, beberapa pohon kayu diatasnya yang berjarak. Di kaki bukit, pohon cengkeh berjejer rapi. Saat kemarau seperti saat ini, masyarakat sekitar harus memikul air atau menarik selang ke kaki bukit, menyiram tanaman cengkeh yang hampir mati tersengat panas matahari.

Jubdin, Tomakaka (perangkat adat) Buntu Matabing menuturkan bahwa dulunya, Ongko (hutan adat) dijaga dengan baik, masyarakat memanfaatkan hasil hutan seperti buah cempedak, dengeng dan rotan. Namun, sekitar tahun 1985 an, hutan adat mulai tergerus. Pohon-pohon kayu ditebangi untuk dijual ke pemasok. Beberapa perangkat adat sebelumnya diduga menjual Ongko kepada masyarakat pendatang yang kemudian membuka lahan dengan membakar lalu menyulap hutan menjadi perkebunan cengkeh dan kakao.

Sejak itu kata Jubdin beberapa hewan endemik Sulawesi seperti anoa, rusa, burung maleo hingga babi tak pernah lagi ditemukan. Hanya tersisa monyet yang juga kerap keluar ke sekitar sungai dan kaki bukit.

“Dulu ada anoa, rusa sama burung Allo nak, tapi sekarang tidak pernah mi kelihatan,” kata Jubdin

Petani di Desa Buntu Matabing. Dok. Andini

Kasi Kesra Pembangunan Desa Buntu Matabing, Suhardin menjelaskan bahwa Komunitas Masyarakat adat Buntu Matabing umumnya bertani dengan menggarap tana mana’ (lahan warisan) dari leluhur, berkebun cengkeh dan kakao, budidaya  tambak ikan dan udang serta juga nelayan.

Kondisi pertanian dan perkebunan kata Suhardin saat ini tak menentu, hal ini dikarenakan musim yang tidak bisa diprediksi. Petani harus menunggu hujan untuk mulai menanam padi. Dulunya musim penghujan terjadi dalam rentang bulan April hingga Agustus, sementara kemarau pada September hingga Maret. Namun saat ini, hujan lebat kadang mengguyur hingga mengakibatkan banjir, sementara kemarau bahkan terjadi hingga tujuh bulan lamanya.

Kondisi ini tentu menyulitkan petani dalam memprediksi musim tanam, bahkan beberapa kali petani mengalami gagal panen akibat kemarau panjang dan hujan yang mengakibatkan banjir. Selain itu, musim panen terakhir, petani mengalami gagal panen akibat hama tikus yang menyerang dan menghabiskan padi, hal ini diduga diperparah karena rantai makanan yang tidak teratur. Kondisi hutan yang kian tergerus menyebabkan ular tak lagi memiliki tempat tinggal.

Masyarakat Adat Minjara, Hatibo menuturkan bahwa tradisi adat dalam bertani mulai ditinggalkan. Dulunya, setiap prosesi tanam padi, Ambo Kampong (perangkat adat) akan dipanggil untuk menandai dimulainya musim tanam, dalam prosesi itu Ambo Kampong akan berdoa untuk kesuburan dan keberhasilan petani. Hal ini juga berlaku sama saat prosesi memanen padi. Ambo Kampong akan berdoa sebagai tanda kesyukuran atas hasil panen para petani. Namun kini, tradisi itu kian tergerus, para petani tak lagi memanggil Ambo Kampong, hanya segelintir orang yang masih menjalankan tradisi itu.

“Aih ndak adami nak (tradisi) itu, sekarang menanam asal menanam saja,” keluh Hatibo

Kondisi hutan adat yang kian tergerus meninggalkan jejak dampak pada 2007 silam, banjir bandang menghantam sejumlah wilayah termasuk Buntu Matabing dan Minjara. Saat ini, hujan yang mengguyur selama tiga jam sudah bisa membuat tiga dusun di Desa Buntu Matabing tergenang banjir.

Perahu perahu nelayan. Dok. Andini

Hal ini juga diperparah dengan kondisi hutan mangrove yang kian menipis. Masyarakat sekitar yang membudidaya tambak ikan dan udang membuka lahan tambak dengan menebangi pohon-pohon mangrove yang sebelumnya telah ada. Hal ini mengakibatkan tambak milik mereka akan tampak bak lautan saat banjir dan air pasang, membuat tanggul tambak jebol dan ikan berlarian keluar.

Masyarakat Adat Buntu Matabing, Nurarini mengatakan bahwa hutan mangrove yang menjadi rumah bagi banyak jenis ikan pun mulai hilang. Dulu, masyarakat sekitar hanya memancing dan menangkap ikan di sekitar pinggir laut, Kini, mereka harus menghabiskan waktu satu hingga dua jam ke tengah laut untuk menangkap ikan.

Selain itu, jumlah hasil tangkapan nelayan juga kian menipis. Dulunya, masyarakat bisa membawa pulang seember ikan saat memancing, namun kini hanya bisa mendapat enam hingga sepuluh ekor ikan saja.

“Dulu cari ikan di pinggir sudah dapat, sekarang harus pi ke tengah laut baru dapat, kalau memancing, dulu satu ember penuh sekarang syukur-syukur kalau dapat sepuluh” kata Nuraini.

Kondisi yang dialami oleh masyarakat adat Buntu Matabing dan Minjara saat ini membuat banyak anak muda memilih bekerja keluar sebagai awak kapal atau pelayaran.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news