KabarMakassar.com — Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar menyoroti meningkatnya fenomena anak dan remaja yang terjerumus ke perilaku LGBT.
Meski tak menjelaskan secara rinci jumlah jumlah anak yang tercatat sebagai LGBT, Kepala DP3A Kota Makassar, drg. Ita Isdiana Anwar, mengungkapkan bahwa akar utama dari kasus tersebut bukan semata soal orientasi, melainkan kekosongan kasih sayang dan lemahnya peran keluarga.
Menurut drg Ita, sebagian besar kasus LGBT pada anak-anak di Makassar berawal dari kondisi keluarga yang tidak harmonis. Banyak dari mereka tumbuh di lingkungan keluarga tidak utuh orang tua menikah muda tanpa buku nikah, kemudian berpisah dan membangun keluarga baru.
“Anak-anak seperti ini kehilangan kasih sayang. Mereka hanya butuh perhatian, dan ketika tidak mendapatkannya di rumah, mereka mencarinya di luar. Akibatnya, mudah terjerumus ke pergaulan yang salah,” jelas Ita, Rabu (12/11).
Ia menambahkan, dalam beberapa kasus, DP3A menemukan anak-anak yang menunjukkan tanda-tanda gangguan kejiwaan (ODGJ) akibat minimnya perhatian dari orang tua. Anak-anak ini cenderung mencari kasih sayang tanpa peduli dari siapa pun.
“Mereka sering bilang, ‘Saya tidak peduli laki-laki atau perempuan, yang penting ada yang sayang sama saya.’ Itu membuktikan bahwa akar masalahnya bukan orientasi, tapi kekosongan kasih sayang,” tambahnya.
Selain faktor keluarga, drg Ita menyebut pengaruh media sosial dan budaya luar sebagai pemicu lain yang memperparah situasi. Banyak anak di usia remaja terpapar konten LGBT di media sosial yang menggambarkan gaya hidup tersebut seolah bebas dan membahagiakan.
“Anak-anak melihat kehidupan LGBT di luar negeri seolah bebas dan bahagia. Padahal mereka tidak tahu efek psikologis dan sosialnya. Karena itu, edukasi harus berbasis moral dan agama, bukan sekadar menakut-nakuti,” ujarnya.
DP3A mencatat bahwa banyak anak-anak dan remaja di sekolah yang belum memiliki pemahaman spiritual yang kuat. Lemahnya pendidikan agama dan moral di rumah maupun di sekolah membuat mereka mudah terpengaruh.
“Kami menemukan banyak anak yang bahkan tidak tahu gerakan salat. Ini menunjukkan kurangnya pembinaan dari rumah. Kami sudah minta sekolah dan guru agama memperkuat pengajian dan pembinaan moral. Jangan cuma formalitas, tapi benar-benar membentuk karakter,” tegasnya.
Lebih jauh, drg Ita menjelaskan bahwa fenomena LGBT di kalangan anak bukan hanya persoalan kesehatan atau pendidikan, tetapi juga masalah sosial yang kompleks. Sayangnya, banyak keluarga dan masyarakat yang masih menganggap isu ini tabu untuk dibicarakan secara terbuka.
“Padahal justru karena tabu itulah, kasus-kasus seperti ini tidak terdeteksi sejak dini. Kami ingin masyarakat terbuka, mau melapor, dan bersama-sama mencari solusi,” ujarnya.
Ia menegaskan, DP3A Makassar selama ini terus berupaya menangani kasus-kasus yang dilaporkan melalui pendekatan edukasi dan pendampingan psikologis. Namun, drg Ita mengakui bahwa upaya tersebut masih terbatas tanpa adanya dukungan kebijakan yang lebih kuat.
DP3A Makassar kini mendorong pemerintah daerah membuat regulasi khusus yang mengatur penanganan kasus LGBT di kalangan anak dan remaja. Saat ini, sebagian besar penanganan masih berada di bawah tanggung jawab Dinas Kesehatan, sementara aspek sosial, psikologis, dan moral belum mendapat perhatian optimal.
“Ini menyangkut psikologi, sosial, hingga moral generasi muda. Jadi harus ada payung hukum daerah agar kami bisa bergerak lebih efektif,” tegas drg Ita.
Menurutnya, tanpa regulasi daerah yang jelas, langkah pencegahan dan penanganan akan sulit dilakukan secara terpadu. Ia menilai perlu adanya kolaborasi lintas sektor antara sekolah, tenaga kesehatan, lembaga sosial, dan tokoh agama untuk membangun sistem pembinaan yang menyentuh akar persoalan.
drg Ita juga mengungkapkan bahwa DP3A menemukan beberapa kasus anak yang bahkan berencana menikah sesama jenis di luar negeri, seperti di Thailand. Fenomena ini menjadi alarm moral bagi orang tua dan masyarakat tentang lemahnya pengawasan terhadap perilaku anak-anak di era digital.
“Ini alarm bagi kita semua. Lingkungan punya pengaruh besar, tapi yang paling penting adalah rumah. Kalau keluarga kuat, anak tidak mudah goyah,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa keluarga tetap menjadi benteng utama dalam menjaga moral dan perilaku anak. Kasus LGBT pada anak, katanya, hanyalah satu dari sekian banyak gejala sosial yang muncul akibat melemahnya fungsi keluarga dan kurangnya perhatian emosional terhadap anak-anak.
DP3A Makassar berkomitmen memperkuat program edukasi keluarga, forum anak, dan pusat pembelajaran keluarga (Puspaga) untuk menekan munculnya kasus serupa di masa depan. Edukasi dini, menurut Ita, harus dilakukan bukan hanya di sekolah, tetapi juga di rumah dengan menanamkan nilai kasih sayang, moral, dan spiritualitas sejak usia dini.
“Kalau anak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup di rumah, mereka tidak akan mencarinya di luar. Keluarga adalah kunci utama membentengi anak dari segala bentuk penyimpangan,” pungkasnya.


















































