KabarMakassar.com — Penanggulangan HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dinilai membutuhkan keterlibatan lintas sektor agar upaya pencegahan dan pengendalian berjalan efektif. Hal ini mengemuka dalam Rapat Koordinasi Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi Sulsel yang digelar di Makassar, Selasa (30/09).
Kepala Dinas Kesehatan Sulsel, Ishaq Iskandar menegaskan bahwa persoalan HIV/AIDS bukan hanya isu kesehatan, tetapi juga menyangkut dimensi sosial. Karena itu, diperlukan strategi bersama yang melibatkan pemerintah, swasta, hingga masyarakat sipil.
“Permasalahan HIV/AIDS adalah isu kesehatan sekaligus isu sosial yang perlu kita hadapi bersama. Diperlukan langkah strategis, komitmen yang kuat, dan koordinasi yang terpadu agar angka kasus dapat ditekan serta kualitas hidup ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) semakin baik,” ujarnya.
Rakor ini menghadirkan perwakilan dari berbagai organisasi perangkat daerah (OPD), lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan pegiat kesehatan. Diskusi difokuskan pada upaya memperkuat deteksi dini, memperluas akses layanan, serta mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.
Langkah tersebut dinilai penting mengingat stigma sosial masih menjadi salah satu penghambat utama dalam penanganan HIV/AIDS. Banyak ODHA yang enggan memeriksakan diri atau mendapatkan layanan kesehatan karena takut mendapat diskriminasi.
Selain itu, keterpaduan data dan layanan juga menjadi perhatian. Pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan diharapkan menyusun kebijakan yang lebih terintegrasi agar program pencegahan, pengobatan, dan pendampingan berjalan optimal.
Melalui rakor ini, Sulawesi Selatan memperkuat komitmen untuk mendukung target nasional Ending AIDS 2030. Pencapaian target tersebut dinilai hanya mungkin terwujud jika semua sektor bersinergi dan masyarakat semakin terbuka terhadap isu HIV/AIDS.
Sebelumnya, Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) mencatat ada 1.431 kasus baru Human Immunodeficiency Virus (HIV) sepanjang Januari hingga Agustus 2025.
Kota Makassar menjadi daerah dengan angka tertinggi, yakni 563 kasus, disusul Kabupaten Gowa (119 kasus) dan Kota Palopo (79 kasus).
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Sulsel, Muhammad Yusri Yunus, menjelaskan bahwa tingginya kasus di Makassar berhubungan erat dengan jumlah penduduk yang besar dan mobilitas masyarakat yang tinggi.
“Dimana populasi tinggi, maka angka penularan juga akan tinggi,” ucapnya.
Data Dinkes Sulsel mencatat seluruh 24 kabupaten/kota di Sulsel telah melaporkan temuan kasus HIV. Daerah dengan jumlah kasus rendah antara lain Enrekang (7 kasus), Luwu Utara (8 kasus), serta Pangkep (9 kasus).
Berdasarkan jenis kelamin, 74 persen kasus terjadi pada laki-laki, sementara 26 persen sisanya perempuan. Jika ditinjau dari sisi usia, 51 persen berasal dari kelompok produktif 25–49 tahun, 37 persen dari kelompok usia 15–24 tahun, 7 persen anak di bawah 15 tahun, dan 5 persen di atas 50 tahun.
Faktor risiko terbesar tercatat pada kelompok Lelaki Seks Lelaki (LSL) dengan 572 kasus. Disusul penderita tuberkulosis (162), pelanggan pekerja seks (59), ibu hamil (54), pasangan orang dengan HIV (52), waria (42), serta pekerja seks perempuan (22).
“Dari Januari hingga Agustus 2025, angka kita sudah di posisi lebih dari 1.100. Jika melihat tren, pergerakannya mendekati tahun 2024 lalu,” jelasnya.
Pada 2024, Sulsel mencatat sekitar 2.000 temuan kasus baru HIV. Angka tersebut bahkan melebihi target nasional yang diberikan Kementerian Kesehatan, yakni 1.400 kasus secara nasional.
Yusri menegaskan bahwa data yang dilaporkan berasal dari Sistem Informasi HIV (SIHA) dan akurasinya cukup tinggi karena bersumber langsung dari layanan kesehatan.
“Ini data yang bisa dipercaya, karena laporan dari fasilitas layanan kesehatan yang melakukan pemeriksaan,” katanya.
Dalam upaya pengendalian HIV, pemerintah provinsi mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV/AIDS, yang menjadi landasan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan.
Selain itu, Rencana Aksi Daerah (RAD) HIV/AIDS juga disusun sebagai turunan dari Rencana Aksi Nasional untuk memperkuat strategi pencegahan dan peningkatan screening.
Pendampingan bagi orang dengan HIV (ODHIV) dilakukan melalui kerja sama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas, seperti Ism YPKDS, YGC, PKBI, IPPI, PKNM, dan YMH.
Sementara itu, pengobatan menggunakan obat Antiretroviral (ARV) tetap diberikan secara gratis di seluruh layanan kesehatan.
Pemerintah Sulsel menekankan pentingnya keterlibatan semua pihak, termasuk media, dalam menyebarkan informasi yang benar tentang HIV/AIDS.
Dengan semakin terbuka data penemuan kasus, diharapkan stigma dapat dikurangi dan masyarakat terdorong untuk melakukan pemeriksaan lebih dini.
“Kami berharap media bisa menjadi corong untuk menyampaikan kepada masyarakat. Semakin banyak orang yang mau melakukan screening, semakin cepat pula kita bisa menekan penularan,” pungkas Yusri.


















































