Kembali Uji Materi Pasal Perkawinan Beda Agama, Pemohon Nilai Multitafsir

1 week ago 24
Kembali Uji Materi Pasal Perkawinan Beda Agama, Pemohon Nilai MultitafsirPemohon saat Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 212/PUU-XXIII/2025 (Dok: Ist).

KabarMakassar.com — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi terkait perkawinan beda agama.

Kali ini, gugatan diajukan oleh warga negara Indonesia, Muhamad Anugrah Firmansyah, yang menilai ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menimbulkan multitafsir dan menyebabkan ketidakpastian hukum.

Sidang dengan Nomor Perkara 212/PUU-XXIII/2025 itu digelar di Ruang Sidang Panel MK, Rabu (12/11/2025), dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.

Dalam permohonannya, Anugrah menjelaskan bahwa dirinya, yang beragama Islam, telah menjalin hubungan selama dua tahun dengan seorang warga negara Indonesia beragama Kristen. Keduanya telah saling mengenal keluarga masing-masing dan berencana untuk menikah secara sah di mata negara. Namun, ia merasa dirugikan oleh Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yang berbunyi

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.”

Menurutnya, ketentuan tersebut justru menimbulkan tafsir ganda, di mana pencatatan perkawinan antaragama menjadi sulit, bahkan dianggap tidak sah secara administratif.

“Ketentuan tersebut menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum mengenai pencatatan perkawinan antaragama,” ujar Anugrah di hadapan majelis hakim.

Ia menilai pasal itu dimaknai seolah-olah hanya perkawinan seagama yang dapat dicatatkan oleh negara. Dampaknya, pasangan beda agama seperti dirinya kehilangan hak untuk mencatatkan perkawinan secara resmi, meski sudah menjalani hubungan yang sah secara sosial dan berdasarkan kesepahaman pribadi.

Permohonan ini juga disertai keberatan terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023, yang berisi larangan bagi pengadilan untuk mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antaragama. Menurut Anugrah, aturan tersebut semakin mempersempit ruang hukum bagi pasangan beda agama untuk mendapatkan pengakuan negara.

“Akibatnya, terjadi diskriminasi dan ketidakpastian hukum. Ada pengadilan yang mengabulkan, ada juga yang menolak. Ini menyebabkan ketidaksamaan penerapan hukum,” tegasnya.

Ia menambahkan, meski Mahkamah Konstitusi pernah menguji persoalan serupa dalam Putusan Nomor 68/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022, namun permohonannya kali ini membawa novum atau fakta hukum baru. Fokusnya bukan lagi pada tafsir agama, melainkan pada ketidakjelasan norma hukum yang membuka ruang diskriminasi bagi warga negara yang ingin menikah beda agama.

Menanggapi permohonan itu, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur meminta Pemohon untuk menyempurnakan redaksi permohonannya dengan mengacu pada UU Perkawinan versi terbaru, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2019.

“Penulisan pasalnya jangan sepotong-potong supaya lengkap,” kata Ridwan dalam sidang.

Ia juga menyarankan agar Pemohon memperkuat argumentasi hukum dengan menelusuri putusan-putusan MK sebelumnya yang relevan.

“Lihat di laman MK, ada putusan yang dikabulkan, ambil rujukannya supaya lebih kuat dan sistematis. Saudara juga perlu menjelaskan hubungan kausal antara kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal yang diuji,” tambahnya.

Majelis hakim kemudian memberikan waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan uji materi tersebut. Perbaikan harus diserahkan paling lambat pada Selasa, 25 November 2025 pukul 12.00 WIB.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news