Menteri Agama Nasaruddin Umar (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Kementerian Agama (Kemenag) menegaskan langkah konkret dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang bebas dari kekerasan dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan Penanganan Kekerasan serta menetapkan 512 pesantren sebagai pilot project Pesantren Ramah Anak.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa setiap satuan pendidikan, termasuk pesantren, harus menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang anak. Ia menekankan pentingnya transformasi pesantren menjadi lembaga yang tidak hanya mendidik secara spiritual, tetapi juga melindungi santri dari kekerasan dalam bentuk apa pun.
“Setiap lembaga pendidikan, baik sekolah, madrasah, maupun pesantren harus menjadi tempat yang ramah anak, zero kekerasan,” tegas Nasaruddin di Jakarta, Minggu (26/10).
“Kita serius dengan pengembangan pesantren ramah anak. Untuk itu, kita bentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan sebagai langkah sistematis dan terukur,” lanjutnya.
Kehadiran KMA Nomor 91 Tahun 2025 menjadi penguat bagi berbagai regulasi pencegahan kekerasan yang telah diterbitkan sebelumnya, seperti Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan serta KMA Nomor 83 Tahun 2023 tentang Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Kemenag.
“Regulasi ini menjadi panduan bagi seluruh ASN Kementerian Agama dan para pemangku kepentingan agar langkah pencegahan dan penanganan kekerasan dapat dilakukan secara konsisten dan menyeluruh,” jelas Menag.
Selain penguatan regulasi, Kemenag juga menindaklanjuti hasil riset PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menemukan 1,06 persen dari 43.000 pesantren di Indonesia masih tergolong rentan terhadap kekerasan seksual. Riset tersebut, yang dilakukan sepanjang 2023–2024, menjadi dasar bagi Kemenag dalam merumuskan kebijakan berbasis data untuk mencegah kekerasan di lingkungan pesantren.
“Angka kerentanan sebagaimana hasil riset PPIM menjadi perhatian serius kami. Namun di sisi lain, ada 98,9 persen pesantren yang memiliki daya tahan besar terhadap kekerasan. Mereka inilah yang akan kita dorong untuk menjadi teladan dalam pengembangan pesantren ramah anak,” ujar Nasaruddin.
Dalam upaya memperkuat langkah pencegahan, Kemenag juga menggandeng Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk memastikan pemenuhan hak-hak anak dalam pendidikan berbasis asrama.
“Salah satu bentuk kerja sama kami dengan KemenPPPA adalah penerapan pola pengasuhan ramah anak di satuan pendidikan keagamaan yang terintegrasi dengan asrama. Tujuannya agar anak-anak terlindungi secara fisik, psikis, dan sosial,” terang Menag.
“Ini komitmen kami. Langkah-langkah strategis sudah dirumuskan dalam peta jalan pengembangan pesantren ramah anak. Insya Allah langkah kita semakin efektif dan strategis,” tambahnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Islam Amien Suyitno menyampaikan bahwa pembentukan Satgas bukan satu-satunya langkah Kemenag. Program pendampingan dan pengawasan langsung juga dijalankan melalui 512 pesantren percontohan.
“Pada tahap awal, kita telah menetapkan 512 pesantren sebagai pilot Pesantren Ramah Anak melalui SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 1541 Tahun 2025. Pendampingan dilakukan secara intensif agar standar perlindungan anak benar-benar diterapkan,” kata Amien.
Kemenag juga meluncurkan sistem pelaporan digital berbasis WhatsApp bernama Telepontren (0822-2666-1854) yang memungkinkan santri atau masyarakat melaporkan dugaan kekerasan secara cepat, aman, dan anonim.
“Kami meminta setiap pesantren menyiapkan sistem pelaporan internal yang aman dan terhubung langsung ke Kemenag, KPAI, maupun Komnas Perempuan. Transparansi adalah kunci dalam pencegahan,” ujar Amien.
Selain penguatan kelembagaan, Kemenag juga mendorong peningkatan kesadaran di kalangan pesantren melalui kegiatan Lomba Karya Tulis Ilmiah Pesantren Ramah Anak serta program Masa Taaruf Santri (Mata Santri) yang menanamkan nilai-nilai antikekerasan sejak dini.
Staf Khusus Menag bidang Kebijakan Publik dan Pengembangan SDM, Ismail Cawidu, menyebutkan bahwa Kemenag juga bekerja sama dengan Lakpesdam PBNU untuk menyelenggarakan Pelatihan Penanganan Kekerasan Seksual di 17 pesantren di berbagai daerah.
“Kami melihat ada respons yang sangat positif dari kalangan pesantren. Mereka semakin terbuka, mau berdiskusi, dan bersinergi dengan aktivis perempuan, ormas keagamaan, maupun lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada isu perlindungan anak,” kata Ismail.
Ia menegaskan bahwa pesantren memiliki posisi strategis dalam membangun budaya pendidikan yang aman dan berkeadaban. Oleh karena itu, setiap program pembinaan diarahkan agar pesantren menjadi pelopor pendidikan tanpa kekerasan di Indonesia.
Kemenag pun telah menyusun peta jalan pengarusutamaan Pesantren Ramah Anak (PRA) hingga tahun 2029. Dalam tahapan ini, periode 2025–2026 menjadi fase penguatan dasar melalui sosialisasi kebijakan dan pembentukan Satgas di tiap pesantren. Selanjutnya, pada 2027–2028, dilakukan akselerasi replikasi program ke lebih banyak pesantren, hingga mencapai fase kemandirian pada 2029, di mana sistem perlindungan anak akan terintegrasi dalam manajemen kelembagaan pesantren.


















































