Rakor Nasional yang digelar Secara Virtual, (Dok: KabarMakassar).KabarMakassar.com — Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempercepat penerbitan Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) bagi seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang menjadi dapur pengolahan Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Hal ini dilakukan menyusul kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) yang terjadi di sejumlah lokasi program prioritas MBG.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, pihaknya bersama Badan Gizi Nasional (BGN) telah menyepakati bahwa seluruh SPPG wajib mengantongi SLHS.
Instruksi yang sebelumnya ditargetkan satu bulan kini dipangkas menjadi maksimal 13 hari kerja, berkat prosedur yang sudah disederhanakan tanpa mengurangi kualitas standar.
“Dinas kesehatan harus jemput bola melakukan inspeksi. SLHS adalah minimum standar yang wajib dipenuhi,” kata Budi, dalam Rapat Koordinasi Nasional yang digelar secara virtual, bersama Kepala daerah, dipimpin langsung Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Senin (29/09).
SLHS akan menjadi syarat mutlak dapur SPPG untuk dapat beroperasi. Pemeriksaan meliputi kondisi dapur, lingkungan, hingga penyimpanan sampel bahan makanan untuk trace back jika terjadi keracunan.
“Petugas harus mencuci tangan, memakai sarung tangan, dan berpakaian bersih. Dinas kesehatan harus memastikan semua standar dipenuhi sebelum makanan didistribusikan,” jelasnya.
Dari evaluasi Kemenkes, ditemukan kasus keracunan lebih besar yang melibatkan SPPG 02 Maju Jaya di Kecamatan Cipongkor, dengan 20 persen lebih porsi bermasalah.
Bahkan, kasus serupa juga ditemukan pada SPPG 03 di Kecamatan Cihampelas, sebanyak 192 siswa menunjukkan gejala keracunan makanan.
“Kasus keracunan MBG juga terjadi di Kecamatan Kecamatan Pokor dan Desa Sirna Gali, yang melibatkan SPPG Makmur Jaya dengan 380 kasus, atau sekitar 10 persen lebih dari porsi makanan yang diproduksi bermasalah, ini perlu menjadi perhatian penuh” ujarnya.
Lebih lanjut katanya, setiap laporan keracunan yang muncul harus ditangani dengan prosedur baku dan dilaporkan secara cepat.
“Protokol tata laksana sudah baku dan teman-teman di daerah sudah tahu. Pastikan kalau ada keracunan, segera dijalankan, dimonitor, dan dilaporkan,” tegas Budi.
Selain pengawasan lapangan, Budi menekankan perlunya peningkatan kapasitas laboratorium kesehatan daerah. Ia meminta agar setiap laboratorium dilengkapi PCR untuk bakteri dan virus, serta toxicology lab untuk mendeteksi zat kimia.
“Kalau pakai kultur butuh waktu lama. PCR wajib tersedia. Kami juga sedang menghitung biaya agar bisa menambah alat rapid test bakteri dan kimia, seperti yang dilakukan pada katering jemaah haji,” ungkapnya.
Sistem uji cepat ini, kata Budi, akan menjadi standar baru dalam distribusi makanan MBG, meski pelaksanaannya masih menunggu perhitungan anggaran.
Budi menegaskan, dengan penerapan protokol baku, percepatan sertifikasi SLHS, penguatan laboratorium, hingga peran aktif UKS, kasus keracunan massal dalam program MBG dapat ditekan seminimal mungkin.
“Kerja sama seluruh pihak, dari sekolah, puskesmas, hingga pemerintah daerah adalah kunci menjaga keamanan pangan dan kesehatan anak-anak kita,” pungkasnya.


















































