KabarMakassar.com — Intoleransi laktosa merupakan gangguan pencernaan yang terjadi karena tubuh tidak dapat mencerna laktosa, yaitu gula yang terdapat dalam susu serta produk olahannya.
Menurut Alodokter yang merupakan mitra resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, gejala umum yang muncul diantaranya adalah diare, perut kembung, dan sering buang angin setelah mengonsumsi produk mengandung laktosa.
Agar laktosa bisa dicerna, tubuh memerlukan enzim bernama laktase. Enzim tersebut berfungsi memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa, dua jenis gula sederhana yang bisa diserap tubuh sebagai sumber energi.
Pada penderita intoleransi laktosa, total enzim laktase yang diproduksi tubuh terlalu sedikit. Hal itu mengakibatkan, laktosa tidak tercerna dengan baik dan langsung menuju usus besar.
Di usus besar, laktosa difermentasi oleh bakteri, dan proses ini menimbulkan gejala misalnya perut kembung, nyeri, dan diare. Gejala ini biasanya muncul beberapa jam usai mengonsumsi produk susu.
Intoleransi laktosa sering disalahartikan sebagai alergi susu, padahal keduanya merupakan hal yang berbeda. Intoleransi berkaitan dengan masalah pencernaan, sementara alergi susu adalah reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap protein dalam susu.
Alergi susu dapat menyebabkan gangguan pencernaan, sesak napas, hingga ruam kemerahan yang gatal. Karena gejalanya berbeda, maka penting untuk memahami perbedaan antara intoleransi laktosa dan alergi susu agar penanganannya tepat.
Berikut beberapa penyebab dari intoleransi laktosa:
1. Intoleransi laktosa primer
Intoleransi laktosa primer adalah kondisi yang dipengaruhi oleh faktor genetik yang diwariskan dari orang tua. Pada kondisi ini, tubuh secara alami mulai memproduksi enzim laktase dalam jumlah lebih sedikit seiring dengan bertambahnya usia.
Penurunan produksi laktase umumnya dimulai sejak anak berusia sekitar 2 tahun. Tetapi, gejala intoleransi laktosa biasanya baru dirasakan ketika seseorang memasuki masa remaja atau dewasa, ketika kadar laktase menjadi semakin rendah.
2. Intoleransi laktosa sekunder
Intoleransi laktosa sekunder muncul karena penurunan produksi enzim laktase yang dipicu oleh gangguan pada saluran pencernaan.
Sejumlah kondisi medis yang dapat menyebabkan hal ini antara lain penyakit celiac, penyakit Crohn, infeksi usus, serta peradangan pada usus besar.
Selain itu, penurunan kadar laktase turut terjadi akibat efek samping dari kemoterapi atau penggunaan antibiotik dalam waktu lama. Kondisi ini umumnya bersifat sementara dan dapat membaik setelah penyebab utamanya diatasi.
3. Intoleransi laktosa bawaan
Intoleransi laktosa bawaan disebabkan oleh kelainan genetik langka yang diwariskan oleh kedua orang tua.
Bayi yang mengalami kondisi tersebut sudah lahir dengan jumlah enzim laktase yang amat rendah atau bahkan tanpa enzim tersebut sama sekali.
Jenis intoleransi laktosa ini tergolong sangat jarang ditemukan dan biasanya telah terdeteksi sejak bayi baru lahir, karena langsung menunjukkan gejala setelah mengonsumsi susu.
4. Intoleransi laktosa dalam masa perkembangan
Jenis intoleransi laktosa tersebut disebabkan oleh perkembangan usus bayi yang belum matang sepenuhnya saat lahir.
Kondisi ini biasanya dialami oleh bayi yang lahir secara prematur. Walau demikian, intoleransi laktosa pada kasus ini bersifat sementara.
Seiring dengan pertumbuhan dan pematangan sistem pencernaan, maka produksi enzim laktase akan meningkat dan gejala intoleransi biasanya akan menghilang.
Cara menangani intoleransi laktosa:
Hingga kini, belum tersedia pengobatan yang bisa menyembuhkan intoleransi laktosa maupun cara efektif untuk meningkatkan produksi enzim laktase dalam tubuh.
Meski demikian, dokter biasanya akan menyarankan pasien agar membatasi atau menghindari makanan yang mengandung laktosa guna mencegah timbulnya gejala.
Oleh sebab itu, penting bagi penderita intoleransi laktosa untuk selalu memeriksa kandungan makanan dan minuman sebelum mengonsumsinya.
Sejumlah jenis makanan yang sebaiknya dihindari atau dibatasi meliputi susu sapi dan susu kambing, serta berbagai produk olahannya.
Produk turunan susu yang menjadi sumber utama laktosa diantaranya keju, yoghurt, es krim, dan mentega. Selain itu, berbagai makanan olahan seperti kue, biskuit, cokelat, permen, mayones, kentang goreng siap saji, sup instan, daging olahan, roti, dan sereal juga bisa mengandung laktosa tersembunyi.
Sebagai alternatif, maka penderita dapat mengganti susu hewani dengan susu berbahan dasar nabati, seperti susu kedelai, susu almond, atau susu gandum.
Yoghurt yang terbuat dari kelapa atau kedelai, juga produk berlabel bebas laktosa dan beberapa jenis keju tertentu juga aman dikonsumsi.
Mengonsumsi makanan yang mengandung laktosa dalam jumlah kecil secara bertahap juga dapat menjadi salah satu cara untuk membantu tubuh beradaptasi dalam mencernanya.
Akan tetapi, metode ini sebaiknya dilakukan berdasarkan petunjuk dan pengawasan dokter untuk menghindari risiko gangguan pencernaan.
Selain itu, penggunaan probiotik dapat menjadi pengobatan pendamping. Probiotik dikenal bermanfaat untuk kesehatan sistem pencernaan dan sering digunakan untuk penanganan diare serta irritable bowel syndrome.
Beberapa jenis probiotik juga diyakini mampu membantu tubuh mencerna laktosa, meskipun penggunaannya tetap perlu dikonsultasikan dengan dokter terlebih dahulu.