KabarMakassar.com — Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan kembali pentingnya keamanan berbasis masyarakat dengan menerbitkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 300.1.4/e.1/BAK tertanggal 3 September 2025. Surat edaran tersebut, atas arahan Mendagri Tito Karnavian, berfokus pada tiga hal utama, memperkuat peran Satuan
Perlindungan Masyarakat (Satlinmas), mengaktifkan kembali sistem keamanan lingkungan (siskamling) dan pos ronda di tingkat RT/RW, serta menerapkan mekanisme pelaporan digital melalui Sistem Informasi Manajemen Pelindungan Masyarakat (SIM Linmas).
Dalam kunjungannya ke Makassar, Tito menekankan kembali makna Siskamling dan pos ronda sebagai garda terdepan keamanan rakyat.
“Sejak lama kita sudah mengenal siskamling, ada yang menyebutnya jaga malam atau jogogoyo di Jawa. Itu adalah sistem pengamanan khas Indonesia, di mana masyarakat menjaga lingkungannya sendiri dengan penuh kebersamaan,” ujarnya.
Ia menambahkan, keberadaan pos ronda tidak hanya menekan potensi kejahatan, tetapi juga menjadi ruang diskusi, mempererat silaturahmi, serta merawat tradisi gotong royong.
Namun, apa sebenarnya akar sejarah dari Siskamling dan pos ronda yang kini kembali digaungkan pemerintah?
Jejak Panjang Siskamling
Siskamling bukanlah konsep baru. Ia telah hadir sejak masa kolonial Belanda dengan sebutan Kampung Wacht atau ronda kampung. Saat itu, tujuan utamanya adalah menjaga keamanan lingkungan, meski sesungguhnya merupakan instrumen kontrol kolonial.
Setelah kemerdekaan, peran Siskamling semakin kuat. Pada tahun 1975, sistem ini diresmikan sebagai bagian dari keamanan lingkungan melalui regulasi Kementerian Dalam Negeri. Memasuki dekade 1980-an, Kapolri Awaloedin Djamil mengembangkan konsep pengamanan swakarsa menjadi lebih terstruktur. Ronda malam dan patroli warga menjadi tulang punggung ketertiban lingkungan, sekaligus wadah memperkuat komunikasi sosial dan gotong royong.
Fungsi utama Siskamling kala itu bukan hanya membantu kepolisian, tetapi juga membangun rasa kebersamaan. Melalui aktivitas ronda, warga belajar menjaga satu sama lain, sebuah praktik sosial yang hingga kini masih dianggap relevan untuk menghadapi ancaman baru seperti hoaks dan provokasi digital.
Evolusi Panjang Pos Ronda
Jika Siskamling lahir dari kebutuhan masyarakat, pos ronda memiliki sejarah yang lebih simbolis. Menurut Abidin Kusno dalam Penjaga Memori, Gardu di Perkotaan Jawa (2007), pos ronda awalnya hadir di keraton Jawa sebagai simbol kuasa raja.
Memasuki masa VOC, pos ronda beralih fungsi menjadi penanda batas administratif antar kampung. Kepala kampung dibantu warga menjaga keamanan dari pos tersebut. Pada masa Gubernur Jenderal Daendels, pos ronda juga dibangun di sepanjang Jalan Raya Pos Anyer–Panarukan untuk mendukung logistik, pengawasan, dan transportasi.
Di era Raffles, kepala desa bahkan diberi peran kepolisian, salah satunya melalui kegiatan ronda. Namun, seiring berkembangnya kolonialisme, Belanda berupaya merebut kendali pos ronda dengan membentuk polisi kolonial. Upaya itu tak berjalan mulus karena keterbatasan sumber daya, sehingga masyarakat tetap menjadi motor utama keamanan.
Jepang mengambil pelajaran dari kegagalan Belanda. Mereka membentuk Keibodan, barisan pemuda Indonesia yang dilibatkan menjaga pos ronda. Sistem ini sempat efektif secara budaya karena melibatkan warga secara langsung. Namun, dalam waktu singkat, para pemuda memutus hubungan dengan Jepang, menjadikan pos ronda kembali sebagai simbol perlawanan dan dukungan terhadap kemerdekaan.
Pasca Kemerdekaan hingga Orde Baru
Setelah Indonesia merdeka, pos ronda kembali mengalami pergeseran fungsi. Menurut sejarawan Universitas Airlangga, Purnawan Basundoro, pos ronda menjadi simbol pemantauan ketat terutama di daerah rawan konflik. Tentara bahkan ditempatkan di pos ronda desa untuk menumpas gerakan yang dianggap berbahaya, termasuk ideologi komunis.
Pada dekade 1980-an, pos ronda mulai bergeser ke wilayah perkotaan. Di era Orde Baru, fungsinya tak hanya untuk keamanan, tetapi juga sebagai alat kontrol politik ruang. Kehadirannya memudahkan pemerintah memantau aktivitas masyarakat di tingkat akar rumput.
Pos Ronda di Era Kini
Kini, pos ronda telah kembali ke tangan masyarakat. Ia tidak lagi identik dengan militer, melainkan dengan warga yang secara sukarela menjaga lingkungannya. Banyak pos ronda modern dilengkapi televisi, pengeras suara, bahkan fasilitas sederhana untuk berkumpul. Fungsinya pun melebar, dari sekadar tempat berjaga menjadi ruang silaturahmi, musyawarah, hingga sarana rekreasi sosial.
Menghidupkan Tradisi untuk Masa Depan
Instruksi Tito Karnavian lewat surat edaran terbaru pada dasarnya adalah upaya menghidupkan kembali warisan lama yang terbukti efektif. Siskamling dan pos ronda bukan sekadar mekanisme keamanan, tetapi juga kearifan lokal yang menumbuhkan kebersamaan dan ketangguhan sosial.
“Keamanan tidak bisa hanya diserahkan kepada aparat. Masyarakat adalah garda terdepan. Inilah tradisi bangsa kita yang harus dirawat,” tegas Tito.
Dari era kolonial, pendudukan Jepang, masa kemerdekaan, Orde Baru, hingga era digital, Siskamling dan pos ronda telah mengalami transformasi. Namun esensinya tetap sama, menjaga keamanan lingkungan melalui gotong royong warga. Kini, dengan dukungan teknologi seperti SIM Linmas, tradisi itu diharapkan mampu menjawab tantangan keamanan di masa depan.