Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda saat Berkunjung ke UIN Alauddin Makassar (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Komisi II DPR RI mencatat lonjakan laporan publik sepanjang 2025, dengan isu pertanahan menjadi persoalan terbesar yang disuarakan masyarakat.
Dari total 671 aspirasi yang diterima, 287 di antaranya atau sekitar 40 persen berkaitan langsung dengan masalah tanah, mulai dari konflik rakyat korporasi, sengketa lahan, sertifikat ganda, hingga dugaan praktik mafia tanah.
Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, mengatakan data tersebut mencerminkan betapa mendesaknya persoalan agraria nasional dan besarnya pekerjaan rumah negara dalam menata ulang sistem pertanahan.
“Ini menunjukkan betapa serius dan mendesaknya persoalan ini di negara kita, termasuk ancaman mafia tanah,” ujar politisi NasDem itu, Selasa (09/12).
Rifqi menjelaskan, salah satu akar persoalan pertanahan di Indonesia adalah tidak sinkronnya data pertanahan antar lembaga. Temuan Panja PNBP Pertanahan mengungkap tumpang tindih dan kekosongan pencatatan pada berbagai jenis perizinan, seperti HGU, HGB, HPL hingga IUP.
“Banyak lahan negara yang tidak tercatat. Ada kawasan yang tumpang tindih haknya. Situasi seperti ini membuat mafia tanah mudah bermain dan merugikan masyarakat,” tegasnya.
Kondisi ini, menurut Rifqi, memperkuat urgensi audit menyeluruh dan digitalisasi data pertanahan agar negara benar-benar mampu mengontrol dan menutup ruang permainan oknum mafia.
Rifqi mengapresiasi capaian Kementerian ATR/BPN yang dinilai menunjukkan perbaikan signifikan. Berdasarkan laporan yang diterima Komisi II, sepanjang tahun ini 90 kasus pertanahan berhasil diselesaikan dari target 107, 185 terduga mafia tanah diproses, serta 14.315 hektare tanah berhasil diselamatkan. Nilai potensi kerugian negara yang dicegah mencapai Rp23,3 triliun.
“14 ribu hektare tanah yang berhasil diselamatkan ini bukti bahwa negara bisa menang. Tetapi kerja ini harus diperkuat karena mafia tanah bergerak dengan cara-cara yang semakin canggih,” ujarnya.
Komisi II juga menyoroti fenomena terbitnya sertifikat kepemilikan di wilayah laut atau pesisir, yang dikenal sebagai kasus Pagar Laut. Rifqi menegaskan bahwa penerbitan sertifikat di wilayah laut tidak memiliki dasar hukum dan merupakan penyimpangan serius.
“Laut tidak bisa dimiliki pribadi. Kami meminta audit nasional agar kejadian seperti di Tangerang dan Sidoarjo tidak terulang. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tanah,” tegasnya.
Rifqi menekankan bahwa penyelesaian persoalan pertanahan tidak boleh hanya bersifat kasus per kasus.
Diperlukan langkah sistemik melalui penataan dan sinkronisasi data, percepatan digitalisasi layanan pertanahan, pembukaan akses publik melalui Dashboard Pengaduan Pertanahan, serta peningkatan pengawasan lintas lembaga.
“Isu pertanahan bukan hanya soal sengketa, tetapi juga soal keadilan agraria, ruang hidup masyarakat, dan penerimaan negara. Komisi II akan terus mendorong penyelesaian secara menyeluruh,” pungkas Rifqi.


















































