Ketua Komisi II DPR RI, M Rifqinizamy Karsayuda (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Ketua Komisi II DPR RI, M Rifqinizamy Karsayuda, mengingatkan bahwa persoalan terbesar dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah saat ini adalah semakin melemahnya kapasitas fiskal di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Ia menyebut ketergantungan daerah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin membesar karena minimnya kewenangan daerah serta rendahnya kemampuan menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Kapasitas fiskal daerah kita sangat lemah. Hanya sekitar empat persen kabupaten yang tergolong sehat, selebihnya bergantung penuh pada APBN,” tegas Rifqi dalam sesi pemaparannya pada kegiatan Laboratorium Gerakan (LAGA) Perubahan Partai NasDem di Akademi Bela Negara (ABN), Jumat (28/11).
Kegiatan LAGA Perubahan diikuti kader dan pengurus Fraksi NasDem dari Papua, Papua Pegunungan, Papua Barat, Papua Barat Daya, Papua Tengah, Papua Selatan, Maluku Utara, dan DIY. Di hadapan peserta, Rifqi memulai paparannya dengan menegaskan kembali karakter Indonesia sebagai negara kesatuan yang membutuhkan tata kelola hubungan pusat dan daerah yang kuat dan seimbang.
Ia menyoroti bahwa perdebatan mengenai Transfer ke Daerah (TKD) sering mengesampingkan persoalan mendasar terkait relasi kewenangan. Rifqi menilai ironis ketika daerah menjadi kontributor utama penerimaan negara dari sektor tambang hingga kehutanan, namun tidak memiliki kendali terhadap perizinan maupun konsesi atas sumber daya tersebut.
“Daerah menerima dana transfer dari pusat, padahal pendapatan itu berasal dari wilayah mereka sendiri. Namun perizinan dan konsesi tetap berada di pusat. Inilah akar ketergantungan fiskal kita,” ujarnya.
Rifqi juga memperingatkan bahwa tahun 2026 diprediksi menjadi periode berat bagi pemerintah daerah karena berpotensi terjadi penurunan signifikan pada TKD. Dengan kondisi APBD yang rata-rata defisit pada sisi pendapatan, ia menilai banyak pemerintah daerah hanya berfokus pada realisasi belanja tanpa membangun basis pendapatan jangka panjang.
Ia menegaskan bahwa semakin lebarnya jarak antara pendapatan dan belanja daerah tidak boleh dibiarkan. Untuk itu, Rifqi mendorong penguatan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai solusi strategis. Namun kondisi BUMD saat ini masih jauh dari ideal.
“Sekitar 70 persen BUMD kita tidak sehat. BUMD harus disiapkan dengan serius agar menjadi instrumen peningkatan fiskal daerah, bukan sekadar formalitas. Ini tugas politik sekaligus tugas pembangunan,” tegasnya.
Selain soal fiskal, Rifqi menyoroti isu pemekaran daerah. Hingga kini terdapat 376 usulan Daerah Otonomi Baru (DOB) yang masuk ke Kemendagri dan Komisi II DPR RI. Namun ia menegaskan bahwa kebijakan pemekaran tidak boleh dilakukan secara emosional.
“Tanpa perencanaan yang matang dan hitungan fiskal yang kuat, pemekaran hanya akan menambah masalah,” kata Rifqi, mengingatkan bahwa lebih dari separuh DOB sebelumnya justru berkinerja rendah.
Isu Papua pun menjadi perhatian penting. Rifqi menilai masih terdapat ketidakadilan fiskal di beberapa provinsi di Papua, terutama terkait formulasi Dana Bagi Hasil (DBH) Otonomi Khusus. Dengan APBD beberapa provinsi baru di Papua yang bahkan belum mencapai Rp3 triliun, ia meminta kader NasDem di kawasan timur Indonesia menjadi pelopor penguatan fiskal daerah.
Rifqi menekankan pentingnya menjaga komunikasi politik yang sehat antara pusat dan daerah, serta memperkuat integritas dalam pengelolaan pemerintahan, termasuk terkait persoalan PKKK paruh waktu yang tengah ditangani Komisi II.
“Sebagai politisi, kita wajib menjaga martabat dan integritas partai. Tugas kita adalah memperbaiki sistem, bukan menambah masalah,” pungkasnya.


















































