Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani (dok. Syamsi/Kabar Makassar)KabarMakassar.com — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak pemerintah daerah di Sulawesi Selatan untuk mencabut sejumlah kebijakan yang dinilai berpotensi mendiskriminasi kelompok rentan, termasuk perempuan, minoritas agama, dan minoritas gender.
Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, mengatakan bahwa masih ada sejumlah regulasi di Sulsel yang secara substansi maupun penerapan berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi warga negara.
Dia menilai, pemerintah daerah harus segera mengambil langkah konkret untuk meninjau dan mencabut kebijakan-kebijakan tersebut.
“Karena di Sulsel ini telah diproduksi kebijakan-kebijakan yang berpotensi untuk adanya diskriminasi terhadap kelompok rentan, dalam hal ini perempuan, kemudian dari minoritas agama, minoritas gender,” katanya, saat ditemui di Makassar, baru-baru ini.
“Ini saya harap pemerintah tidak hanya mengenali tapi bisa langsung bertindak bahwa kebijakan tersebut bisa mendiskriminasi sehingga harus dicabut,” sambungnya.
Chatarina menegaskan, pada tahun 2026 mendatang, regulasi daerah yang memuat unsur pidana sudah tidak dapat lagi diterapkan sesuai dengan kebijakan hukum nasional.
Karena itu, dia meminta agar pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota segera melakukan evaluasi terhadap peraturan-peraturan lama yang berpotensi melanggar prinsip kesetaraan.
“Apalagi untuk tahun 2026, kebijakan yang mengandung unsur pidana sudah tidak bisa diterapkan,” tegasnya.
Pernyataan Chatarina tersebut menindaklanjuti temuan Komnas Perempuan yang sebelumnya mencatat sedikitnya 15 kebijakan daerah di Sulawesi Selatan berpotensi diskriminatif.
Sebagian besar di antaranya merupakan peraturan bernuansa keagamaan yang dinilai membatasi kebebasan beragama dan berekspresi, seperti Perda berpakaian muslim, kewajiban baca tulis Al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin, serta surat edaran pelarangan aktivitas kelompok keagamaan tertentu.
Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Daden Sukendar, sebelumnya menjelaskan bahwa aturan-aturan tersebut tersebar di sejumlah daerah, termasuk Bulukumba, Gowa, Maros, Enrekang, Wajo, dan Parepare.
Dia menilai, sebagian regulasi tersebut tidak sejalan dengan semangat konstitusi yang menjamin kesetaraan dan kebebasan beragama bagi seluruh warga negara.
Daden juga menekankan bahwa dasar penyusunan peraturan daerah seharusnya berpijak pada konstitusi, yang menegaskan tujuan berbangsa dan bernegara untuk melindungi seluruh rakyat tanpa membeda-bedakan agama.
Dia berujar, peraturan yang hanya berpihak pada kelompok tertentu bertentangan dengan semangat keadilan sosial dan prinsip kesetaraan.
“Ketika pemerintah daerah membuat peraturan perundang-undangan, mestinya itu yang melingkupi semua, tidak mengatur sebagian dari masyarakat yang ada di situ. Misalnya di kabupaten tadi, kenapa Perda yang ada itu untuk baca tulis Al-Quran, sedangkan masyarakat di situ mungkin tidak semuanya muslim. Ada yang non-muslim. Jadi mestinya peraturan itu harus melindungi seluruh masyarakat yang ada di tempat itu,” tuturnya.
Dia juga menyoroti fakta bahwa beberapa kebijakan berpakaian di sekolah menyebabkan perundungan terhadap siswa, termasuk mereka yang belum siap memakai kerudung.
Kondisi tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa persoalan agama dan identitas sering kali dipolitisasi oleh pemerintah daerah.
“Makanya persoalan agama menjadi kewenangan pusat, tidak menjadi kewenangan daerah. Tapi biasanya pemerintah daerah beralasan ini adalah otonomi daerah. Seperti tadi, busana misalnya, ada faktanya yang mengadu ke Komnas Perempuan dan mitra Komnas Perempuan yang merasa, misalnya yang muslim bahkan, merasa belum siap untuk pakai kerudung di sekolah. Malah terjadi perundungan,” katanya.
Daden mengingatkan agar semua pihak, termasuk akademisi, pelaku usaha, masyarakat sipil, pemerintah, dan media, berperan aktif membangun kesadaran publik terhadap pentingnya pembangunan yang berperspektif gender dan inklusif.
Dia menyebut, semua elemen harus bekerja sama agar tidak ada kelompok yang tertinggal dalam proses pembangunan.
“Jadi semua ini harus bersama-sama memberikan pendidikan kepada masyarakat agar pembangunan itu betul-betul tidak boleh ada satu pun yang tertinggal alias no one left behind,” pungkasnya.


















































