Komnas Perempuan Soroti 15 Kebijakan Pemda di Sulsel Rawan Diskriminasi

7 hours ago 3

KabarMakassar.com — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti sedikitnya 15 kebijakan daerah di Sulawesi Selatan yang dinilai berpotensi diskriminatif.

Kebijakan tersebut sebagian besar bernuansa keagamaan dan dianggap membatasi kebebasan beragama maupun berekspresi masyarakat.

Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, menyampaikan bahwa aturan-aturan tersebut tersebar di sejumlah kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan. Ia mencontohkan, salah satunya adalah Peraturan Desa Muslim, Padang, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, yakni Perdes Nomor 5 Tahun 2006 tentang pelaksanaan hukum cambuk.

“Saat ini enggak tahu masih dilakukan atau tidak, pemberlakuannya. Tetapi kita tidak mendengar apakah itu dicabut atau tidak. Tapi memang informasinya reda,” kata Daden saat dijumpai di Kantor Yayasan Pemerhati Perempuan, Makassar, Jumat (31/10).

Selain itu, terdapat pula Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 2003 tentang berpakaian muslim dan muslimah, serta Peraturan Daerah Kabupaten Enrekang Nomor 6 Tahun 2005 tentang busana muslim.

Kebijakan serupa juga berlaku di Maros melalui Perda Nomor 16 Tahun 2005 tentang berpakaian muslim dan muslimah, dan di Gowa lewat Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang bebas buta aksara Al-Quran.

Komnas Perempuan juga mencatat adanya kebijakan lain seperti Perda Bulukumba Nomor 6 Tahun 2003 tentang kewajiban pandai baca Al-Quran bagi siswa dan calon pengantin, serta Peraturan Bupati Bulukumba Nomor 4 Tahun 2016 yang mengatur pakaian dinas aparatur sipil negara.

Di tingkat provinsi, Surat Edaran Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 223.2-803/Kesbang Tahun 2011 tentang pelarangan aktivitas Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) juga masuk dalam daftar tersebut.

“Meskipun informasinya dari teman-teman Ahmadiyah sekarang sudah cair, tetapi peraturan ini memang kelihatannya tidak ada pencabutan,” ujar Daden.

Lebih lanjut, terdapat pula Peraturan Bupati Soppeng Nomor 16 Tahun 2011 tentang pedoman pakaian dinas di lingkungan pemerintah daerah, serta beberapa perda terkait ketertiban umum di Kabupaten Luwu Timur, Sinjai, dan Maros.

Sementara itu, kebijakan pendidikan baca tulis Al-Quran juga diterapkan di Kota Parepare melalui Perda Nomor 11 Tahun 2015, di Kabupaten Wajo melalui Perda Nomor 5 Tahun 2014, dan di Kota Makassar melalui Perda Nomor 1 Tahun 2012.

Menurut Daden, kebijakan-kebijakan tersebut menyasar masyarakat minoritas dan membatasi kebebasan beragama, padahal urusan agama merupakan kewenangan pemerintah pusat. Dia menegaskan bahwa pemerintah daerah seharusnya tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan urusan keagamaan.

“Padahal kita tahu bahwa dalam peraturan perundang-undangan, persoalan agama itu tidak menjadi persoalan daerah. Itu kewenangan pusat. Harus diatur oleh undang-undang. Nah ini di daerah mengatur persoalan itu. Itu yang disayangkan,” jelasnya.

Dia menambahkan, berbagai aturan bernuansa agama itu kerap menimbulkan masalah baru, termasuk diskriminasi dan perundungan terhadap perempuan maupun kelompok rentan. Komnas Perempuan, kata Daden, belum melakukan pemantauan lanjutan, namun berharap tidak ada lagi peraturan daerah baru yang berpotensi diskriminatif.

“Tapi dari tahun-tahun yang tadi disebutkan, mudah-mudahan, karena Komnas Perempuan belum melakukan pemantauan berikutnya, ya, mudah-mudahan tidak terjadi peraturan-peraturan daerah yang diduga diskriminatif tadi. Meskipun memang di 2025 ada perkembangan juga, ada informasi dari media, tapi kami belum tindak lanjuti. Jika ditambah dengan itu, ya mungkin lebih dari 15,” ujarnya.

Daden juga menekankan bahwa dasar penyusunan peraturan daerah seharusnya berpijak pada konstitusi, yang menegaskan tujuan berbangsa dan bernegara untuk melindungi seluruh rakyat tanpa membeda-bedakan agama. Dia menilai peraturan yang hanya berpihak pada kelompok tertentu bertentangan dengan semangat keadilan sosial dan prinsip kesetaraan.

“Ketika pemerintah daerah membuat peraturan perundang-undangan, mestinya itu yang melingkupi semua, tidak mengatur sebagian dari masyarakat yang ada di situ. Misalnya di kabupaten tadi, kenapa Perda yang ada itu untuk baca tulis Al-Quran, sedangkan masyarakat di situ mungkin tidak semuanya muslim. Ada yang non-muslim. Jadi mestinya peraturan itu harus melindungi seluruh masyarakat yang ada di tempat itu,” tuturnya.

Dia juga menyoroti fakta bahwa beberapa kebijakan berpakaian di sekolah menyebabkan perundungan terhadap siswa, termasuk mereka yang belum siap memakai kerudung. Kondisi tersebut, menurutnya, menunjukkan bahwa persoalan agama dan identitas sering kali dipolitisasi oleh pemerintah daerah.

“Makanya persoalan agama menjadi kewenangan pusat, tidak menjadi kewenangan daerah. Tapi biasanya pemerintah daerah beralasan ini adalah otonomi daerah. Seperti tadi, busana misalnya, ada faktanya yang mengadu ke Komnas Perempuan dan mitra Komnas Perempuan yang merasa, misalnya yang muslim bahkan, merasa belum siap untuk pakai kerudung di sekolah. Malah terjadi perundungan,” katanya.

Daden mengingatkan agar semua pihak, termasuk akademisi, pelaku usaha, masyarakat sipil, pemerintah, dan media, berperan aktif membangun kesadaran publik terhadap pentingnya pembangunan yang berperspektif gender dan inklusif. Dia menyebut, semua elemen harus bekerja sama agar tidak ada kelompok yang tertinggal dalam proses pembangunan.

“Jadi semua ini harus bersama-sama memberikan pendidikan kepada masyarakat agar pembangunan itu betul-betul tidak boleh ada satu pun yang tertinggal alias no one left behind,” pungkasnya

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news