KPPU Soroti Pembatasan Impor BBM Non Subsidi: Konsumen Kehilangan Pilihan, Pertamina Dominan

2 days ago 10
 Konsumen Kehilangan Pilihan, Pertamina DominanIlustrasi Pengisian BBM, (Dok: Ist).

KabarMakassar.com – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan catatan penting atas kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor BBM non-subsidi.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, menegaskan bahwa kebijakan tersebut memang punya sisi positif dalam menjaga ketahanan energi dan memperbaiki neraca perdagangan nasional, tetapi juga menyisakan tantangan serius bagi iklim persaingan usaha.

“Kami menyambut baik langkah pemerintah dalam mengatur impor, termasuk BBM. Ini merupakan strategi penting untuk menekan defisit transaksi migas dan mendorong pemanfaatan sumber daya dalam negeri,” ujar Deswin, dalam keterangannya, Jumat (19/08).

Meski demikian, ia menekankan bahwa setiap kebijakan publik sebaiknya tetap mengutamakan keseimbangan.

“Kebijakan apapun harus memastikan ketersediaan pasokan, kelancaran distribusi, dan iklim persaingan yang sehat. Tanpa itu, manfaat jangka panjang bagi konsumen bisa tereduksi,” jelasnya.

KPPU sebelumnya melakukan analisis atas Surat Edaran Kementerian ESDM Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 tanggal 17 Juli 2025, yang membatasi kenaikan impor bensin non-subsidi maksimal 10 persen dari volume penjualan 2024.

Dari analisis itu, KPPU menemukan adanya dampak langsung terhadap kelangsungan operasional badan usaha (BU) swasta yang bergantung penuh pada impor.

“Dengan pembatasan ini, pilihan konsumen berkurang dan dominasi Pertamina makin kuat,” terang Deswin. “Padahal, tren konsumsi BBM non-subsidi sedang meningkat. Itu tanda positif yang semestinya dijaga, bukan dipersempit ruangnya.”

KPPU mencatat, akibat aturan tersebut, tambahan volume impor BU swasta hanya berkisar 7.000–44.000 kiloliter. Sebaliknya, PT Pertamina Patra Niaga memperoleh tambahan sekitar 613.000 kiloliter.

Kondisi ini memperlihatkan pangsa pasar Pertamina di segmen BBM non-subsidi kini mencapai ±92,5 persen, sementara BU swasta hanya 1–3 persen.

“Struktur pasar yang terlalu terkonsentrasi akan menutup peluang persaingan. Konsumen kehilangan pilihan, sementara potensi investasi swasta bisa melemah,” tutur Deswin.

Analisis KPPU menggunakan Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU) sebagaimana diatur dalam Peraturan KPPU No. 4 Tahun 2023.

Dari hasil itu, KPPU mengidentifikasi bahwa pembatasan impor ini bersinggungan dengan indikator pembatasan jumlah pasokan serta penunjukan pemasok tertentu.

“Jika swasta diarahkan membeli dari kompetitornya, ini bisa mengarah pada diskriminasi, dominasi pasar, bahkan inefisiensi. Situasi semacam ini jelas berisiko terhadap iklim usaha dan investasi,” kata Deswin.

Ia menegaskan bahwa KPPU tidak menolak kebijakan pembatasan impor, tetapi meminta agar pemerintah melakukan evaluasi berkala.

“Kita harus menyeimbangkan stabilitas energi dengan keberlanjutan persaingan usaha. Jangan sampai kebijakan yang bertujuan menjaga ketahanan energi justru mengorbankan keberagaman pelaku usaha dan kepentingan konsumen,” tegasnya.

Pada akhirnya, KPPU berharap pemerintah tetap membuka ruang yang adil bagi BUMN maupun swasta agar keduanya bisa tumbuh bersama.

“Kalau iklim persaingan sehat, investasi akan meningkat, lapangan kerja bertambah, dan target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan Presiden bisa tercapai,” tutup Deswin.

Navigasi pos

Read Entire Article
Jogja News Jogja Politan Jogja Ball Jogja Otote Klik News Makassar news