
KabarMakassar.com — Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sempat menuai kontroversi setelah menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 yang menetapkan 16 dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan.
Salah satu dokumen yang tak boleh diakses publik adalah ijazah para kandidat, kecuali atas izin pemiliknya.
Keputusan yang ditandatangani Ketua KPU Mochammad Afifuddin dan Kepala Biro Hukum KPU pada 21 Agustus 2025 itu berlaku hingga 2030. Namun, dokumen tetap bisa dibuka jika pemiliknya memberikan persetujuan. Dalam lembar pengujian konsekuensi, KPU menyebut pembukaan dokumen pribadi berisiko mengungkap data sensitif calon presiden dan wakil presiden.
Tak berselang lama, kebijakan tersebut memicu kritik dari publik, akademisi, hingga parlemen. Banyak pihak mengaitkan keputusan ini dengan polemik lama seputar ijazah Presiden Joko Widodo. Sorotan terutama tertuju pada alasan pengecualian yang dianggap tidak sejalan dengan prinsip keterbukaan informasi.
Kritis tersebut juga datang dari parlemen, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai keputusan KPU menimbulkan pertanyaan besar. Menurutnya, penerbitan aturan setelah Pemilu 2024 justru menimbulkan kecurigaan.
“Idealnya aturan dibuat sebelum tahapan pemilu berlangsung, bukan setelahnya,” tegas legislator NasDem itu, Senin (15/09).
Rifqi menekankan, dokumen persyaratan pencalonan pada dasarnya bukan rahasia negara dan tidak mengganggu privasi individu. Justru sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas, dokumen tersebut seharusnya dapat diakses publik. Ia juga mengingatkan bahwa UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak masyarakat untuk memperoleh data penyelenggaraan pemilu.
Ia mencontohkan, selama ini situs resmi KPU bahkan membuka akses luas terhadap dokumen calon legislatif, mulai dari visi-misi hingga ijazah. Karena itu, Rifqi mendesak KPU memberikan klarifikasi agar polemik tidak semakin melebar.
“Jangan sampai keputusan ini mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu,” katanya.
Isi Keputusan 731/2025 memang mencakup 16 dokumen yang ditetapkan sebagai informasi dikecualikan. Selain ijazah, ada surat keterangan kesehatan, tanda terima laporan harta kekayaan, hingga dokumen pernyataan pribadi. Pengecualian tersebut berlaku lima tahun dan baru bisa dicabut bila pemilik dokumen memberi izin.
Merespons gelombang penolakan, KPU kemudian melakukan rapat internal serta berkoordinasi dengan Komisi Informasi Pusat (KIP). Setelah menimbang masukan dari berbagai pihak, KPU akhirnya memutuskan untuk membatalkan keputusan tersebut.
“Kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025,” ujar Ketua KPU Afifuddin dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (16/09).
Afif menegaskan, keputusan awal tidak dimaksudkan untuk menutup akses publik atau melindungi pihak tertentu. Menurutnya, KPU hanya berupaya menyesuaikan aturan internal dengan undang-undang yang berlaku. “KPU harus mempedomani aturan tersebut,” katanya.
Ia juga mengapresiasi masukan publik yang dinilai penting bagi perbaikan tata kelola informasi pemilu. Afif menekankan, prinsip transparansi tetap menjadi pijakan KPU.
“Ini tidak hanya berkaitan dengan Pilpres, tetapi juga data lain yang bisa diakses sesuai kebutuhan dan aturan hukum,” tutupnya.