KabarMakassar.com — Kota Makassar kini menghadapi ancaman serius krisis sampah seiring kapasitas Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tamangapa yang hampir mencapai titik jenuh.
Di tengah situasi darurat ini, proyek Pembangkit Sampah Energi Listrik (PSEL) yang digadang-gadang menjadi solusi jangka panjang justru belum menemui kejelasan.
Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar hingga kini masih menunggu kepastian regulasi baru dari pemerintah pusat terkait kelanjutan pembangunan PSEL atau Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Tim Percepatan Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional baru menetapkan sepuluh wilayah prioritas pembangunan tahap pertama, dan Makassar tidak termasuk di dalamnya.
Wilayah prioritas tersebut mencakup DKI Jakarta (4 titik), Bali, Yogyakarta, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Bogor Raya, Tangerang, Semarang Raya, Medan, serta wilayah Jawa Barat yang meliputi Bandung Raya, Cimahi, Sumedang, dan Garut.
Sementara Makassar bersama 13 daerah lain seperti Serang, Depok, Pekanbaru, Samarinda, dan Banjarmasin, masih masuk dalam daftar tambahan yang menunggu pembahasan lanjutan.
Kepala UPTD TPA Tamangapa, Nasrun, mengungkapkan bahwa usia pakai TPA Tamangapa tinggal sekitar dua tahun sebelum benar-benar overcapacity. Dari total luas lahan 16,8 hektare, hampir seluruhnya kini tertutup tumpukan sampah setinggi 40–50 meter dari dasar.
“Lahan 16,8 hektare itu sudah penuh dengan gunung sampah. Kalau dilihat di lapangan, paling lama TPA ini bisa bertahan dua tahun lagi,” ujarnya, Jumat (10/10).
Nasrun menjelaskan, sisa lahan yang bisa digunakan tinggal sekitar lima persen atau sekitar 200 meter persegi, itupun tidak semuanya bisa difungsikan karena terlalu dekat dengan permukiman warga. Risiko pencemaran akibat air lindi dan bau menyengat menjadi perhatian utama.
“Masih ada sedikit lahan, tapi tidak bisa dipakai karena sudah terlalu dekat dengan rumah penduduk. Risiko pencemarannya tinggi,” tambahnya.
Akibat keterbatasan lahan, sistem pembuangan kini dilakukan secara bertingkat. Sampah baru ditumpuk di atas lapisan lama yang disebut petugas sebagai ‘lantai dua’, lalu ditimbun dengan tanah untuk mencegah longsor dan kebakaran.
Setiap hari, sekitar 1.000 ton sampah dari 14 kecamatan masuk ke TPA Tamangapa. Ratusan truk pengangkut sekitar 400 unit bolak-balik dua hingga tiga kali per hari. Sementara itu, hanya 10 alat berat aktif yang membantu pengelolaan, terdiri atas dua bulldozer dan delapan ekskavator.
Situasi makin parah saat musim hujan tiba. Jalanan menuju area atas menjadi licin, dan antrean panjang truk tak terhindarkan.
“Kalau sudah hujan, pasti antre. Jalannya licin sekali. Pemerintah Kota rencananya tahun depan baru dieksekusi, tapi pekerjaannya butuh waktu enam bulan, jadi baru bisa dianggarkan tahun 2026,” jelas Nasrun.
Melihat kondisi tersebut, Pemkot Makassar menilai percepatan pembangunan PSEL menjadi kebutuhan mendesak. Proyek ini diharapkan bisa mengolah sampah menjadi energi listrik, sekaligus mengurangi ketergantungan pada TPA yang semakin sempit.
Namun, proyek PSEL Makassar yang rencananya dikerjakan oleh PT SUS dengan teknologi dari China masih tertahan di tahap penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Hingga kini belum ada kejelasan kapan proses fisik pembangunan bisa dimulai.
Nasrun menyebut, kehadiran PSEL adalah langkah penting dan tidak bisa lagi ditunda.
“Saya selalu berdoa mudah-mudahan proyek itu jalan. Karena ini solusi yang bisa menyelesaikan persoalan sampah, bukan hanya di Makassar tapi di seluruh Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, Pakar Lingkungan Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Anwar Daud, mengingatkan pemerintah Kota bahwa berdasarkan regulasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sistem open dumping di seluruh TPA Indonesia harus dihentikan paling lambat tahun 2029.
Dengan demikian, Makassar tidak memiliki banyak waktu untuk menyiapkan sistem pengelolaan sampah baru yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
“TPA Tamangapa itu sebenarnya sudah dilarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Makanya paling lambat tahun 2029 Makassar harus punya sistem pengelolaan sampah baru,” ujarnya menegaskan.
Meski demikian, Prof. Anwar tetap optimistis. Ia menilai, dengan perencanaan matang, PSEL bisa menjadi solusi strategis jangka panjang bagi krisis sampah di Makassar, sekaligus membantu menciptakan energi bersih dari sumber lokal.
Namun, keberhasilan proyek ini akan sangat bergantung pada tiga hal, lokasi yang tepat, sistem yang terintegrasi, dan komitmen kuat pemerintah dalam pengawasan lingkungan.
“PSEL bisa jadi solusi, tapi hanya kalau dikelola dengan benar. Jangan hanya kejar proyek, tapi abaikan aspek sosial dan kesehatannya,” tutupnya.


















































