KabarMakassar.com – Pembangunan Pembangkit Sampah Listrik Tenaga Alternatif (PSLTa) kembali menjadi sorotan di Kota Makassar. Proyek ini pertama kali digagas pada masa Wali Kota Mohammad Ramdhan “Danny” Pomanto tahun 2019, namun perkembangannya berjalan lambat.
Baru pada 24 September 2024 lalu, Danny menandatangani perjanjian kerja sama (PKS/MoU) dengan pihak konsorsium PT Grand Puri Indonesia dan PT Sarana Utama Sinergi terkait pengelolaan sampah menjadi energi listrik.
Lokasi pembangunan direncanakan di kawasan Tamalanrea. Namun sejak awal, warga sekitar menyatakan persetujuan. Puncaknya terjadi setelah pemerintah pusat menetapkan pembangunan 33 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2018, yang mewajibkan 12 kota prioritas, termasuk Makassar, untuk memiliki PLTSa.
Proyek dengan nilai investasi diperkirakan mencapai US$200 atau sekitar Rp3 triliun ini, terus mendapatkan penolakan. Saat ini, di masa pemerintahan Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin beberapa kali warga geruduk kantor DPRD Kota Makassar hingga Kantor Balaikota Makassar untuk dikaji kembali lokasi PSLTa. Penolakan tersebut karena warga menilai limbah PSLTa akan mencemari lingkungan sekitar.
Respon serupa juga datang dari Anggota DPRD Kota Makassar, Nasir Rurung, dengan tegas meminta pemerintah Kota Makassar menkaji kembali rencana pemindahan titik pengolahan sampah dari Kecamatan Manggala (Kelurahan Antang) ke Tamalanrea.
Menurut Nasir, pemerintah kota terkesan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan tanpa kajian matang, padahal seluruh regulasi dan perangkat hukum mulai dari studi kelayakan, peraturan wali kota (perwali), hingga analisis dampak lingkungan (amdal) sudah tersedia untuk TPA Manggala.
“Kenapa mesti hadirnya PSEL ini seperti barang yang seenaknya mau dipindahkan? Padahal regulasinya sudah lengkap di Manggala. Sementara di Tamalanrea, amdal saja belum ada,” tegas Nasir ujarnya, Rabu (24/09).
Potensi Macet dan Gangguan Lalu Lintas
Nasir menyoroti dampak besar arus pengantaran sampah jika proyek dipaksakan ke Tamalanrea. Ia menggambarkan bagaimana ratusan truk sampah setiap hari akan melintasi jalur utama Makassar.
“Bayangkan kalau 500 sampai 600 truk lewat di Perintis Kemerdekaan menuju Tamalanrea. Apa yang akan kita rasakan? Bau menyengat, kemacetan parah, dan mahasiswa di sekitar jalur itu yang jadi korban,” ujarnya.
Selain itu, Nasir menilai kehadiran PSEL di Tamalanrea justru akan menambah beban lalu lintas kota. “Sampah ini masuk dari Tallo lewat Urip Sumoharjo, bertabrakan dengan angkutan barang besar. Makassar ini bisa jadi kota macet karena sampah,” tambahannya
Ancaman Lingkungan dan Pemukiman Kumuh Baru
Nasir juga mengingatkan potensi lahirnya pemukiman kumuh baru di sekitar Tamalanrea, sebagaimana yang terjadi di Tamangapa, Manggala. Menurutnya, perpindahan titik persampahan pasti akan diikuti pergerakan para pemulung.
“Sekarang saja ada 600 pemulung hidup di sekitar TPA Manggala. Kalau dipindahkan ke Tamalanrea, mereka pasti ikut pindah. Itu artinya, kita membuat pemukiman kumuh baru di kawasan yang ekonominya sedang tumbuh,” kata Nasir.
Lebih jauh, ia menyinggung dampak air lindi yang dapat merusak lahan produktif warga. “Dulu, lebih dari 30 hektare lahan pertanian di Manggala jadi tidak produktif karena TPA. Apakah kita mau ulang kesalahan yang sama di Tamalanrea?” tanyanya.
Kritik atas Kurangnya Kajian
Bagi Nasir, inti persoalan terletak pada lemahnya kajian. Ia menegaskan, pembangunan fasilitas pengolahan sampah tidak boleh dilakukan hanya karena alasan praktis atau tekanan proyek.
“Harusnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan ini. Jangan menimbulkan persoalan baru ketika dipindahkan. Kalau masyarakat di Tamalanrea menolak, maka suara mereka harus didengar,” tegasnya.
Ia bahkan menyarankan agar pemerintah belajar dari kota lain yang sukses mengubah wajah TPA, seperti Surabaya dengan proyek pembangkit listrik berbasis sampah yang tertata baik.
Nasir kemudian menyerukan agar Pemkot Makassar berhati-hati dalam mengambil langkah. Menurutnya, proyek PSLTa seharusnya menjadi solusi modernisasi TPA, bukan malah menghadirkan risiko baru.
“Kalau bicara solusi, maka pilihannya jelas: perbaiki TPA Manggala yang sudah ada, jangan bikin masalah baru di Tamalanrea. Jangan tunggu sampai masyarakat demo, baru kita sadar,” pungkas Nasir.
Sebelumnya, Jamaludin, perwakilan warga Kelurahan Mula Baru, menuturkan keresahan utama masyarakat adalah dampak jangka panjang yang ditimbulkan.
“Kalau PLTSa beroperasi, pencemaran udara, abu beracun, suara bising, sampai limbah cair akan langsung dirasakan warga. Dan itu bukan sebentar, tapi bisa sampai 30 tahun ke depan,” ujarnya, Selasa (19/08).
Warga juga menyoroti pengalaman serupa di PLTSa Benowo, Surabaya, yang disebut menyebabkan peningkatan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) hingga dua kali lipat di permukiman radius 1 km.
Menurut catatan warga, ada sejumlah potensi dampak serius jika PLTSa dipaksakan dibangun di Tamalanrea, diantaranya, pemukiman padat 8.500 jiwa terancam polusi udara dan bau busuk dari 1.300 ton sampah per hari.
Kedua, Abu terbang berpotensi memicu ISPA seperti kasus di PLTSa Benowo. Ketiga, Suara bising turbin 50–60 dB, melampaui baku mutu lingkungan, bisa mengganggu tidur dan kesehatan mental.
Soal limbah abu terbang, Konsultan PT Sarana Utama Synergy (SUS) Pemenang tender Proyek Strategi Nasional (PSN) PSEL, Ramdan, pernah menjelaskan, proyek tersebut akan menghasilkan abu terbang yang berdasarkan 2 unit sistem stabilitas, dari pemrosesan 1.300 ton sampah kota Makassar yang diolah, dengan daya tampung pembakaran PSEL sebesar 650 ton.
“Kapasitas pemrosesan 7 ton per jam abu terbang, dan beroperasi selama 6 hingga 7 jam per hari,” jelasnya, pada Selasa (6/8/2024) lalu.
Kata Ramdan, abu terbang yang dibuang dari insinerator sampah, akan ditangkap oleh peralatan penyaringan gas buang seperti bag filter atau kantong penyaring.
Sementara itu, General Manager PT SUS Jack Zhang mengatakan, abu terbang yang dihasilkan dalam pemrosesan PSEL Kota Makassar masih memenuhi standar normal.
“Limbah padat seperti abu terbang melewati cerobong ditangkap oleh jaring kemudian dibersihkan kemudian dilakukan penimbun,” jelasnya.
Meski begitu, Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin, menyambut aspirasi warga dengan serius. Ia menegaskan bahwa pemerintah kota tidak akan menutup mata terhadap keresahan masyarakat.
“Kami Pemkot Makassar tetap menunggu kejelasan regulasi pusat sekaligus memastikan setiap keputusan tidak lepas dari aspirasi masyarakat. Saya tidak ingin warga dirugikan,” tegas Appi.
Menurutnya, meski proyek PSEL masuk kategori Proyek Strategis Nasional (PSN), pemerintah kota tidak bisa serta-merta menerima tanpa dasar hukum yang jelas.
Menurutnya, meski proyek PSEL masuk kategori Proyek Strategis Nasional (PSN), pemerintah kota tidak bisa serta-merta menerima tanpa dasar hukum yang jelas.
Munafri menyoroti banyak hal, mulai dari regulasi yang belum sinkron, skema Kerja Sama Pemerintah-Badan Usaha (KPBU) yang menyedot APBD, hingga persoalan legalitas lahan yang masih kabur.
“Kalau aturan-aturan yang mensupport tidak lengkap, maka pembangunan itu tidak boleh dilanjutkan. Kalau dipaksakan, tentu akan berdampak, entah sekarang atau di masa mendatang,” ujarnya.
Appi menambahkan, dirinya akan membawa langsung tiga isu utama ke rapat koordinasi bersama pemerintah pusat, dampak lingkungan, kepastian hukum, dan pemilihan lokasi yang tidak merugikan masyarakat.


















































