Muhamad Mardiono dinyatakan terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum di Muktamar X PPP (Dok : Sinta KabarMakassar).KabarMakassar.com — Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi perhatian setelah Muhamad Mardiono dinyatakan terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum.
Pasalnya, dibalik pengumuman Mardiono sebagai Ketum publik justru disuguhi potret buram politik internal PPP.
Bagaimana tidak, kericuhan di arena muktamar menyebabkan salah satu kader harus dilarikan ke Rumah Sakit (RS) hingga muncul klaim bahwa Agus Suparmanto yang menduduki Kursi pimpinan.
Melihat kondisi tersebut, Pengamat politik dari Profetik Institute, Muhammad Asratillah, menilai situasi ini menggambarkan wajah ganda demokrasi internal partai.
“Di atas kertas, Mardiono berhasil mengamankan kursi ketua umum lewat dukungan mayoritas DPW dan DPC. Tetapi di lapangan, kita menyaksikan legitimasi itu digugat, ditolak, bahkan berujung benturan fisik. Artinya, mandat yang ada lebih bersifat prosedural, namun masih lemah secara substansi,” ujarnya, Senin (29/09).
Asratillah mencatat dua hal penting. Pertama, aklamasi Mardiono memang menunjukkan adanya konsolidasi struktural yang cukup solid di sebagian besar daerah. Namun, fakta bahwa masih ada faksi yang menolak hasil muktamar menandakan potensi perpecahan tetap besar.
“PPP punya sejarah panjang konflik kepemimpinan. Kalau luka politik ini tidak segera dijahit, siklus perpecahan bisa berulang lagi,” tegasnya.
Kedua, kericuhan yang bahkan sampai melukai kader adalah sinyal serius bahwa mekanisme demokrasi internal belum matang.
Menurutnya, partai politik seharusnya menjadi laboratorium demokrasi, tempat kader belajar musyawarah dan perbedaan pandangan, bukan justru arena bentrok fisik.
“Kalau legitimasi hanya berdiri di atas klaim prosedural tanpa penerimaan moral, maka yang lahir hanyalah ketua umum dengan mandat rapuh,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa ujian terbesar Mardiono bukan lagi soal kursi yang sudah didapatkan, melainkan kemampuan merangkul pihak-pihak yang kecewa, mencegah partai terbelah, serta mengembalikan PPP sebagai kekuatan politik Islam yang solid.
“Jika tidak ada upaya rekonsiliasi, kemenangan ini justru bisa menjadi awal dari fragmentasi baru,” pungkasnya.
Sebelumnya, Asratillah telah mengingatkan partai dengan sejarah panjang fragmentasi seperti PPP sangat rentan pecah jika hasil muktamar tidak diterima semua pihak.
“Tantangan terbesar bukan hanya siapa yang terpilih, tapi bagaimana hasilnya bisa diterima sebagai konsensus kolektif,” tambahnya, Jumat (26/09).
Dalam kacamata politik praktis, Muktamar ke-X PPP bukan sekadar perebutan kursi ketua umum, melainkan juga perebutan arah masa depan partai. Jika proses berjalan rapi dan inklusif, PPP berpeluang tampil lebih solid. Namun jika tidak, bayang-bayang fragmentasi lama bisa kembali menghantui.
“Ini uji kelayakan PPP, apakah bisa keluar dari sejarah perpecahan dan menjelma menjadi kekuatan politik Islam yang relevan ke depan,” pungkas Asratillah.


















































