Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi PKS, Meity Rahmatia (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Anggota Komisi XIII DPR RI Fraksi PKS, Meity Rahmatia, kembali menyoroti lemahnya transparansi pemerintah dalam penanganan konflik agraria yang melibatkan PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Ia menegaskan bahwa akar konflik tidak akan pernah terselesaikan tanpa kejelasan data mengenai batas konsesi hutan.
Meity menekankan bahwa konflik yang telah berlangsung lebih dari empat dekade harus segera ditangani secara serius. “Persoalan ini ternyata sudah mulai merayap sejak tahun 1983 dan belum selesai sampai hari ini. Mudah-mudahan lewat Komisi XIII ini, kita bisa menghasilkan solusi yang konkret,” ujarnya politisi asal Sulsel itu, Rabu (26/11).
Ia menyinggung kembali hasil pembahasan pada RDP 3 Oktober 2025, termasuk usulan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), penyelesaian non-diskriminatif, pembukaan akses jalan yang ditutup, hingga wacana pembentukan pansus konflik agraria. Menurut Meity, pertemuan kali ini harus menjadi langkah tindak lanjut yang nyata, bukan sekadar pengulangan diskusi.
Kritik terkuat disampaikan Meity terhadap Kementerian Hukum dan HAM yang dianggap belum mampu menghadirkan data kuantitatif mengenai korban, luas lahan sengketa, hingga batas konsesi yang dipermasalahkan masyarakat adat.
“Saya ingin melihat data yang secara kuantitatif. Berapa korban, berapa luas lahan sengketa, dan bagaimana data konsesinya? Ini belum ditunjukkan oleh Kementerian HAM,” tegasnya.
Menurut Meity, konsesi hutan yang diberikan kepada PT TPL adalah inti persoalan yang memicu konflik berkepanjangan antara perusahaan dan masyarakat adat. Karena itu, ia menegaskan perlunya keterbukaan penuh mengenai status konsesi.
“Batas konsesi sebagai akar konflik tidak dijelaskan. SK konsesi apa yang berlaku? Apakah ada revisi peta kawasan hutan? Ini harus di-update, dan masyarakat adat harus mengetahuinya,” katanya.
Politisi asal Sulawesi Selatan itu juga menyoroti lemahnya pengakuan negara terhadap masyarakat adat. Ia menilai kementerian terkait belum memberikan penjelasan lengkap mengenai status, penetapan wilayah adat, serta dasar legal yang melindungi keberadaan masyarakat tersebut.
“Terdapat klaim bahwa masyarakat belum diakui secara formal. Seharusnya pihak kementerian memaparkan dengan jelas mengenai masyarakat adat dan penetapan wilayah adat,” ujar Meity.
Selain mendesak transparansi, ia mendorong adanya pemeriksaan lapangan independen untuk memverifikasi informasi dan mencegah potensi kekerasan. Ia juga mengingatkan PT TPL agar tidak mengabaikan kepentingan warga terdampak.
“Jangan sampai perusahaan terlalu hebat, masyarakatnya kering,” kritiknya.
Meity mengapresiasi berbagai program CSR PT TPL, namun menegaskan bahwa masyarakat tidak boleh hanya menjadi penonton.
“Masyarakat itu hanya ingin diakui dan disosialisikan. Libatkan DPR agar kami bisa mengetahui feedback antara PT Toba dengan masyarakat,” katanya.
Ia juga mengingatkan potensi conflict of interest jika pendampingan pemerintah terhadap perusahaan tidak diawasi ketat. Karena itu, ia berharap kehadiran lembaga-lembaga HAM dapat memperkuat verifikasi pelanggaran dan memastikan proses penyelesaian berjalan objektif.
“Semoga lembaga HAM dan Kementerian HAM bisa memperkuat laporan yang substansif agar konflik ini bisa diberikan solusinya. Terutama karena kami hadir di Komisi XIII untuk memastikan masyarakat mendapatkan keadilan,” tutup Meity.


















































