Bendahara Golkar Sulsel Andi Ina Kartika Sari, (Dok: Ist).KabarMakassar.com — Jelang Musyawarah Daerah (Musda) DPD I Golkar Sulsel yang hingga kini belum memiliki jadwal resmi, dinamika internal partai terus menunjukkan pergerakan signifikan.
Sejumlah nama kandidat ketua bermunculan, mulai dari petahana Taufan Pawe (TP), Munafri Arifuddin (Appi), Andi Ina Kartika Sari, Adnan Purichta Ichsan (Adnan), Ilham Arief Sirajuddin (IAS), hingga Indah Putri Indriani. Namun dari seluruh nama tersebut, satu figur yang belakangan konsisten disebut oleh elite Golkar yaitu Andi Ina Kartika Sari.
Sinyal itu muncul setelah dua tokoh sentral Golkar, Nurdin Halid (NH) dan Wakil Ketua Umum DPP Golkar Idrus Marham, menyebut nama Andi Ina dalam daftar kandidat.
Menariknya, keduanya menyebut nama yang berbeda-beda tetapi sama-sama memasukkan Andi Ina.
Politisi Senior Nurdin Halid (NH) sempat menyebut tiga figur potensial pimpin DPD I Golkar diantaranya TP, IAS, dan Andi Ina.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Golkar Idrus Marham menyebut Andi Ina, Appi, dan Ilham, tanpa memasukkan nama Petahana TP.
Pola ini menimbulkan tafsir politik bahwa terdapat konsensus diam-diam di antara elite untuk mempertimbangkan figur Bupati Barru dan juga Bendahara Golkar Sulsel itu sebagai opsi potensial.
Pertanyaannya, apakah ini sinyal kuat bahwa Golkar sedang menimbang Andi Ina sebagai ketua baru? Ataukah ia diposisikan sebagai jalan tengah untuk menurunkan tensi faksi-faksi besar yang kerap mendominasi dinamika Golkar Sulsel?
Merespon pertanyaan besar itu, Pengamat politik Profetik Institute, Muhammad Asratillah, menilai posisi Andi Ina memang strategis dalam lanskap politik Golkar saat ini.
Menurutnya, senioritas dalam Golkar bukan hanya soal lamanya berpolitk, tetapi juga soal tingkat penerimaan lintas faksi.
“Ia memiliki rekam jejak panjang dan hubungan yang relatif cair dengan berbagai kelompok,” ujar Asratillah, Rabu (19/11).
Struktur politik Golkar yang sarat riwayat rivalitas dan lapisan kepentingan, kemampuan diterima oleh banyak pihak adalah modal penting. Asratillah menyebutnya sebagai ‘penyangga tengah’ tidak dominan, tidak mencolok, tetapi menjadi elemen penentu keseimbangan.
Figur seperti ini, katanya, sering muncul ketika partai berada pada fase mencari stabilitas untuk mengisi kursi pimpinan.
Namun ia mengingatkan bahwa keberhasilan figur tengah sangat bergantung pada kesiapan setiap faksi untuk berkompromi.
“Pertanyaan besar bukan hanya apakah ia bisa menyatukan faksi, tetapi apakah faksi-faksi itu ingin disatukan,” jelasnya.
Keputusan faksi untuk melebur sering dipengaruhi sinyal DPP, peta elektoral jelang Pilkada dan Pileg, serta kalkulasi jangka pendek masing-masing kelompok.
Jika DPP menginginkan figur yang aman dan tidak menimbulkan turbulensi, kata Asratillah, maka Andi Ina memenuhi kriteria tersebut. Ia tidak berada pada ekstrem salah satu blok, memiliki kedekatan dengan elite pusat, dan tidak membawa beban konflik historis seperti beberapa tokoh lain.
Situasi ini menjadi relevan mengingat poros NH, poros Idrus, serta jejaring DPD II masih mencari skema yang tidak merugikan kepentingan mereka. Dalam kondisi seperti itu, figur kompromi sering muncul sebagai
“jalan tengah yang elegan” singkatnya.
Meski begitu, Asratillah menekankan bahwa sosok kompromi hanya akan efektif jika desain kekuasaan pasca-Musda juga dirancang inklusif terutama dalam komposisi formatur, pembagian jabatan strategis, dan jaminan distribusi pengaruh.
“Tanpa arsitektur kekuasaan yang inklusif, bahkan figur paling senior sekalipun akan kesulitan menjaga kohesi,” tegasnya.
Jika akhirnya Golkar Sulsel memilih Andi Ina sebagai solusi aman, langkah itu menurutnya akan dibaca sebagai konsolidasi pragmatis, bukan kemenangan satu pihak atas pihak lain. Dampak sebenarnya baru dapat diukur tiga hingga enam bulan setelah Musda, apakah ketegangan benar-benar mereda atau hanya sekadar ditunda.
Asratillah mengatakan keberhasilan figur tengah seperti Andi Ina bergantung pada kemampuannya mengelola ekspektasi faksi, menjaga komunikasi lintas struktur, dan memastikan distribusi manfaat yang proporsional.
“Ini seni politik yang halus; jauh lebih rumit daripada sekadar memenangkan aklamasi,” pungkasnya.


















































